
Ilustrasi. [Foto: Canva]
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (KEN), Luhut Binsar Pandjaitan, dalam artikel asumsi.co berjudul “Luhut Ingatkan Masyarakat yang Belum Bayar Pajak akan Dipersulit Urus Administrasi” (10/01/2025), menyatakan bahwa masyarakat yang belum membayar pajak akan dipersulit dalam mengurus administrasi, termasuk pembuatan paspor. Pernyataan tersebut tidak bijaksana dan mengandung kekeliruan mendasar dari sisi hukum dan filosofi negara hukum. Target pemerintah dalam penerimaan pajak seharusnya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pelayanan publik. Namun yang terjadi, pemerintah justru mengeluarkan wacana yang bertentangan dengan kepentingan publik. Dalam konteks filosofi, pernyataan tersebut bertolak belakang dengan konsep bahwa pemerintah tidak hanya berperan sebagai penyedia layanan tetapi juga sebagai pelindung hak-hak warga negara. Ini merupakan contoh nyata bagaimana negara dapat ‘tersesat’ dalam merumuskan kebijakan karena mengabaikan prinsip-prinsip filosofis yang mendasar.
Pernyataan Ketua KEN tersebut mengandung beberapa kekeliruan yang perlu dianalisis. Pertama, kebijakan mempersulit administrasi warga negara karena belum membayar pajak bertentangan dengan konstitusi. Pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan paspor merupakan hak sipil warga negara yang wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara. Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus menahan diri dari intervensi terhadap hak tersebut dan justru harus secara aktif memberikan layanan administrasi kependudukan. Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dapat mengambil pelajaran dari praktik baik negara lain, termasuk yang menganut ideologi liberal. Amerika Serikat, misalnya, menerapkan sistem penegakan pajak melalui Internal Revenue Service (IRS) yang mengedepankan pendekatan konstruktif. Melalui sistem tersebut, negara menyediakan program kepatuhan sukarela seperti Voluntary Disclosure Programs yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk melaporkan pendapatan yang belum tercatat.
Kedua, dari perspektif filosofis, tindakan mengancam warga negara mencerminkan cara pandang feodalistik yang bertentangan dengan konsep negara hukum modern. Dalam negara hukum, relasi negara-warga seharusnya dibangun atas dasar pelayanan dan perlindungan, bukan ancaman dan pembatasan. Meski kekeliruan dalam kebijakan teknis dapat diperbaiki melalui evaluasi dan penyempurnaan, kesalahan dalam tataran filosofis mengindikasikan masalah yang lebih fundamental tentang bagaimana negara memandang perannya. Persoalan ini bukan sekadar menyangkut efektivitas kebijakan, tetapi berkaitan dengan legitimasi moral kekuasaan negara itu sendiri.
Ketiga, kebijakan ini merupakan contoh dari apa yang disebut Giorgio Agamben sebagai “state of exception” – kondisi di mana negara menciptakan ruang abu-abu hukum untuk membenarkan tindakan yang secara konstitusional bermasalah. Kebijakan ancaman administratif ini secara langsung bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang secara tegas menjamin hak setiap warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketidaksesuaian dengan konstitusi juga terlihat dari Pasal 23A UUD 1945 yang dengan jelas menyatakan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Ketentuan ini menegaskan prinsip fundamental bahwa setiap kebijakan perpajakan harus memiliki landasan hukum yang eksplisit dalam undang-undang, bukan sekadar kebijakan administratif.
Lebih lanjut, sanksi bagi wajib pajak tidak patuh telah diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Undang-undang ini mengatur dua jenis sanksi utama: sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan NPWP, atau tidak menyampaikan SPT, dan sanksi administratif berupa denda yang diatur dalam Pasal 7. Penting dicatat bahwa dalam seluruh ketentuan UU KUP, tidak ada satu pun pasal yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membatasi layanan administratif sebagai bentuk sanksi perpajakan.
Dalam konteks penegakan hukum perpajakan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa telah mengatur secara komprehensif mekanisme penagihan yang sah. Melalui Pasal 12, undang-undang ini memberikan kewenangan kepada jurusita pajak untuk melakukan penyitaan, namun dengan batasan yang jelas dalam koridor hukum. Oleh karena itu, setiap penambahan sanksi di luar ketentuan yang telah diatur tidak hanya problematik, tetapi juga berpotensi melanggar asas legalitas dalam hukum administrasi negara.
Perkembangan terkini dalam pembaruan hukum perpajakan, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), justru menunjukkan arah yang berbeda. UU HPP memperkenalkan pendekatan yang lebih konstruktif melalui berbagai instrumen baru untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Contohnya, Pasal 113 UU HPP mengatur program pengungkapan sukarela yang memberikan insentif bagi wajib pajak untuk melaporkan hartanya. Pendekatan ini menegaskan bahwa reformasi perpajakan terkini lebih mengedepankan cara-cara persuasif dan insentif. Penguatan argumentasi ini juga terlihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang secara tegas menyatakan bahwa pembatasan hak warga negara harus dilakukan melalui undang-undang, bukan melalui kebijakan administratif semata. Prinsip konstitusional ini semakin mempertegas bahwa setiap pembatasan layanan administratif sebagai sanksi perpajakan membutuhkan landasan undang-undang yang eksplisit.
Pelayanan Publik adalah Hak Dasar
Wacana ancaman administratif terhadap wajib pajak tidak hanya menimbulkan keresahan, tetapi juga memunculkan pertanyaan fundamental tentang hakikat pelayanan publik di Indonesia. Pelayanan publik merupakan hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi dan tidak dapat dikompromikan. Lebih jauh, ancaman administratif semacam ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 8 ayat (2) undang-undang tersebut secara tegas mensyaratkan bahwa setiap keputusan dan tindakan pemerintah harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Prinsip AUPB yang diatur dalam Pasal 10 mencakup aspek-aspek esensial: kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, larangan penyalahgunaan wewenang, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.
Perspektif teoretis Max Weber dalam karya monumentalnya “Economy and Society” memperkuat argumen ini. Weber menegaskan bahwa birokrasi modern harus dibangun di atas sistem yang terstruktur, impersonal, dan berbasis kompetensi. Kebijakan mempersulit administrasi secara fundamental melanggar prinsip impersonalitas yang Weber kemukakan – prinsip yang menjamin pelayanan tanpa diskriminasi status atau kondisi warga negara. Weber juga menekankan bahwa legitimasi birokrasi modern bersumber dari rasionalitas dan profesionalisme, bukan dari penggunaan kekuasaan sewenang-wenang. Pernyataan Ketua KEN yang menggunakan ancaman administratif sebagai instrumen pemaksaan justru menunjukkan kemunduran dari prinsip-prinsip pelayanan publik modern yang Weber gagas.
Alih-alih mengandalkan ancaman, pemerintah seharusnya menerapkan konsep predictability yang dikemukakan Weber – menciptakan sistem yang dapat diprediksi dan memberikan kepastian bagi masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan melalui sistem perpajakan yang transparan, prosedur yang jelas, dan sanksi yang selaras dengan peraturan perundang-undangan.
Perbaikan sistem perpajakan membutuhkan pendekatan yang menghormati prinsip pelayanan publik, bukan pendekatan intimidatif yang justru mencederainya. Ketika aparatur negara menjalankan fungsi sejatinya sebagai pelayan publik, kepatuhan pajak akan tumbuh secara organik dari kesadaran masyarakat. Inilah saatnya mengembalikan marwah birokrasi perpajakan pada esensi dasarnya: melayani masyarakat secara profesional dan berkeadilan.
Baca juga: Pentingnya Pendampingan Konsultan Hukum Pajak dalam Proses Pemeriksaan Pajak
Dalam konteks perpajakan modern, hegemoni negara perlu dibangun melalui konsensus dan kepemimpinan yang berwibawa, bukan melalui koersi dan ancaman. Penggunaan ancaman tidak hanya menunjukkan kegagalan dalam membangun kepemimpinan moral dan intelektual, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat dan menghambat potensi kolaborasi konstruktif dalam mencapai tujuan bersama. Pembaruan sistem perpajakan membutuhkan fokus pada pelayanan publik yang efektif dan responsif, didukung oleh komunikasi yang membangun kepercayaan antara negara dan warganya. Hanya dengan pendekatan ini, sistem perpajakan dapat menjadi instrumen pembangunan yang adil dan berkelanjutan.