
Ilustrasi. [Source: Istimewa]
FORUM Purnawirawan Prajurit TNI mengeluarkan deklarasi pada April 2025. Deklarasi ini berisi delapan poin sikap, termasuk usulan kepada MPR untuk mengganti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Sebanyak 332 purnawirawan perwira tinggi dari berbagai angkatan menandatangani pernyataan ini. Mereka termasuk mantan pejabat negara seperti Try Sutrisno dan Fachrul Razi. Pernyataan disampaikan dalam acara Silaturahmi Purnawirawan Prajurit TNI dengan Tokoh Masyarakat di Jakarta Utara pada 17 April 2025. Tuntutan ini didasarkan pada anggapan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu melanggar ketentuan hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Meskipun menarik perhatian luas, tuntutan ini perlu dikaji lebih dalam dari sudut konstitusi. UUD 1945 Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (1) dengan jelas menetapkan bahwa Wakil Presiden dipilih bersama Presiden sebagai satu pasangan dalam pemilihan umum langsung oleh rakyat. Proses demokratis ini menghasilkan kemenangan pasangan Prabowo-Gibran dengan 96,2 juta suara (58,59%) pada Pilpres 2024. Pencalonan Gibran kini memiliki dasar hukum yang kuat setelah melalui verifikasi menyeluruh oleh KPU dan pengesahan dari MK.
Memang, keputusan MK yang mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden menuai kritik tentang integritas proses hukum. Namun, penting diingat bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat (erga omnes). Akibatnya, tuduhan pelanggaran prosedur atau masalah etika hakim tidak dapat secara otomatis membatalkan jabatan Gibran tanpa adanya putusan MK baru yang secara khusus membuktikan ketidaksahan tersebut.
Terkait pemberhentian pejabat negara, Pasal 7A UUD 1945 memberikan batasan ketat. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden atas usul DPR jika terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau tidak lagi memenuhi syarat jabatan. Tanpa bukti konkret bahwa Gibran memenuhi kriteria tersebut, usulan penggantian ini sulit dipertahankan secara konstitusional.
Sejak amandemen UUD 1945, MPR tidak lagi memiliki kewenangan sepihak untuk mengganti pejabat negara tanpa mengikuti prosedur hukum yang ketat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) yang menekankan kedaulatan rakyat.
Antara Legalitas dan Moralitas
Inti perdebatan ini adalah antara legalitas formal dan legitimasi moral. Teori Hart dalam The Concept of Law (1961) menjelaskan legitimasi hukum bergantung pada aturan yang diterima secara sosial. Hal ini membantu kita memahami mengapa jabatan Gibran, meski kontroversial, tetap memiliki legitimasi hukum. Namun, legitimasi moral sama pentingnya dalam demokrasi yang sehat. Ketika keputusan yang secara teknis legal dianggap bertentangan dengan nilai keadilan dan kesetaraan peluang, seperti dikemukakan Rawls dalam A Theory of Justice (1971), kepercayaan publik terhadap institusi negara bisa merosot tajam.
Gerakan yang dimulai oleh para purnawirawan mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap praktik nepotisme dan potensi pelemahan demokrasi. Keterlibatan mantan Presiden Joko Widodo dalam mendukung pencalonan putranya memunculkan pertanyaan etis tentang konflik kepentingan dan kesetaraan peluang dalam kontestasi politik. Pandangan Rawls tentang keadilan sebagai fairness relevan di sini—bukan hanya soal mematuhi prosedur formal, tetapi juga memastikan prosedur tersebut tidak dimanipulasi untuk menguntungkan kelompok tertentu secara tidak adil.
Ketegangan antara etika keyakinan dan etika tanggung jawab, sebagaimana diidentifikasi Weber dalam Politics as a Vocation (1919), juga terlihat dalam kontroversi ini. Purnawirawan TNI tampaknya didorong oleh keyakinan moral bahwa praktik nepotisme dan manipulasi hukum harus dilawan demi kebaikan jangka panjang demokrasi.
Di sisi lain, pemerintah dan pendukung Gibran lebih menekankan konsekuensi praktis (etika tanggung jawab), menilai bahwa stabilitas pemerintahan dan penghormatan terhadap hasil pemilu lebih penting untuk mencegah gejolak sosial yang lebih luas.
Respons pemerintah mencerminkan dilema politik yang dihadapi. Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto, menyatakan bahwa Presiden Prabowo menghormati pandangan para purnawirawan karena kesamaan latar belakang dan nilai-nilai militer, namun belum memberikan tanggapan langsung. Sikap ini menunjukkan kesadaran bahwa legitimasi politik tidak hanya bergantung pada aspek legal, tetapi juga pada persepsi publik dan kemampuan membangun konsensus di tengah perbedaan pandangan.
Pada dasarnya, kontroversi ini menyoroti ketegangan abadi antara legalitas dan moralitas dalam politik. Perspektif Fuller dalam The Morality of Law (1964) membantu kita memahami mengapa ketika hukum dianggap dimanipulasi untuk kepentingan politik tertentu, kepercayaan publik terhadap institusi negara dapat menurun drastis.
Meskipun positivisme hukum ala Kelsen (Pure Theory of Law), yang tercermin dalam pernyataan Ketua MPR Ahmad Muzani bahwa Gibran adalah wakil presiden yang sah, menekankan pemisahan antara hukum dan moral, dalam praktiknya legitimasi politik tidak pernah bisa sepenuhnya terlepas dari pertimbangan etika.
Analisis menyeluruh menunjukkan bahwa tuntutan penggantian Wakil Presiden Gibran tidak memiliki dasar kuat dalam konstitusi. Namun demikian, gerakan ini berhasil menyoroti isu penting tentang etika politik yang tidak boleh diabaikan. Perdebatan yang terjadi membuka ruang bagi kita untuk merenungkan standar etika yang diharapkan dari lembaga publik dan para pemimpin, bukan hanya kepatuhan pada aturan tertulis.
Masyarakat demokratis yang sehat membutuhkan keseimbangan antara hukum yang kuat dan etika kepemimpinan. Kesadaran akan pentingnya integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pemerintahan menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa. Melalui dialog konstruktif berdasarkan prinsip konstitusionalisme dan etika publik, Indonesia berpeluang memperkuat demokrasinya, mengatasi polarisasi politik, dan membangun kepercayaan publik yang lebih kokoh terhadap institusi-institusi negara.