
Ilustrasi. [Source: Canva]
Presiden Donald Trump kembali menggebrak panggung perdagangan global. Pada 2 April 2025, Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang mengejutkan banyak negara. Dengan menetapkan tarif dasar sebesar 10 persen untuk sebagian besar negara, dan tambahan tarif khusus sebesar 32 persen untuk Indonesia, Amerika Serikat secara terang-terangan menghidupkan kembali semangat proteksionisme yang sempat mewarnai masa jabatan pertama Trump.
“Ini adalah deklarasi kemerdekaan ekonomi kita. Pekerjaan dan pabrik akan kembali bermunculan di negara kita,” ujar Trump dalam pengumumannya, mengutip Kompas.com, 03/04/2025. Kebijakan kontroversial ini akan mulai berlaku pada 5 April 2025 untuk tarif dasar dan 9 April 2025 untuk tarif timbal balik.
Kebijakan ini bukan langkah proteksionis pertama Trump. Selama masa jabatan pertamanya (2017-2021), Trump juga menerapkan kebijakan serupa. Saat itu, dia memberlakukan tarif 25% untuk impor baja dan aluminium, tarif tambahan untuk produk China, serta mengancam tarif otomotif. Hasil dari kebijakan tersebut beragam. Beberapa industri domestik AS memang terlindungi, namun konsumen menghadapi kenaikan harga, dan terjadi perang dagang dengan China yang mempengaruhi rantai pasok global dan pasar saham. Studi Moody’s Analytics menunjukkan bahwa kebijakan tarif Trump periode pertama telah mengurangi 300.000 lapangan kerja di AS dan mengurangi 0,3% PDB AS—hasil yang bertentangan dengan janji awalnya.
Dilihat dari perspektif hukum perdagangan internasional, meskipun setiap negara memiliki kedaulatan untuk menetapkan tarif impor, kebijakan ini berpotensi menimbulkan masalah terkait komitmen Amerika Serikat dalam World Trade Organization (WTO). Prinsip Most Favored Nation (MFN) dalam Article I GATT 1994 mengharuskan adanya perlakuan yang setara terhadap mitra dagang. Diskriminasi tarif yang diterapkan Trump dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kewajiban AS di WTO, yang mewajibkan negara anggota untuk memberikan perlakuan yang sama kepada semua mitra dagang, kecuali dalam pengecualian yang diizinkan seperti perjanjian perdagangan bebas atau perlakuan khusus untuk negara berkembang.
Dari sudut ekonomi, penerapan tarif tinggi ini dapat memberikan dorongan jangka pendek bagi produksi dalam negeri Amerika Serikat. Namun, hukum ekonomi menunjukkan bahwa proteksionisme akhirnya menciptakan masalah yang lebih besar. Harga barang akan naik, efisiensi produksi menurun dan inflasi meningkat. Para ekonom sudah memperingatkan bahwa konsumen Amerika menanggung beban terberat dari kebijakan semacam ini.
Indonesia, yang dikenai tarif 32%, berada dalam posisi sulit. Tarif ini akan menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar Amerika. Menariknya, Indonesia mendapat tarif yang sama dengan Taiwan dan hanya sedikit lebih rendah dari China (34%) yang selama ini dianggap “lawan” utama Amerika Serikat dalam perdagangan. Sementara itu, beberapa negara ASEAN lainnya seperti Laos, Vietnam, dan Myanmar justru mendapat tarif yang lebih tinggi.
Posisi Indonesia
Secara hukum nasional, Indonesia memiliki beberapa instrumen untuk merespons. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, terutama Pasal 38, memberikan landasan hukum bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan retaliasi atau safeguard. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan memungkinkan Indonesia untuk menerapkan bea masuk tambahan sebagai tindakan balasan terhadap kebijakan yang merugikan dari negara lain. Selain itu, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.010/2023 tentang Tarif Bea Masuk Anti-Dumping, Indonesia dapat menetapkan bea masuk anti-dumping yang lebih tinggi untuk produk-produk Amerika sebagai langkah balasan.
Kebijakan Trump ini hampir pasti memicu reaksi balasan dari negara-negara terdampak. Berdasarkan teori permainan dalam ekonomi internasional, aksi ini kemungkinan besar dibalas dengan tarif serupa oleh mitra dagang Amerika. Indonesia dan negara-negara lain secara hukum berhak menerapkan tarif balasan yang proporsional atau mengajukan gugatan melalui WTO.
Sejarah menunjukkan bahwa perang dagang merugikan semua pihak. Pada 1930-an, penerapan Tarif Smoot-Hawley oleh Amerika Serikat memicu reaksi balasan global yang memperparah Depresi Besar. Di era rantai pasok global yang saling terhubung, dampak kebijakan proteksionis bisa jauh lebih kompleks.
Konsekuensi Hukum dan Ekonomi
Bagi Indonesia, tantangan tarif Trump ini membutuhkan respons strategis. Pada dimensi diplomatik-hukum, Indonesia perlu mengajukan keberatan formal melalui diplomatic note ke Kementerian Perdagangan AS, mencari dukungan dari negara-negara terdampak lainnya untuk mengajukan gugatan kolektif ke WTO, serta memanfaatkan forum G20 dan APEC untuk menekan AS kembali ke jalur perdagangan multilateral.
Dalam dimensi hukum nasional, Indonesia perlu mengevaluasi Peraturan Menteri Perdagangan tentang impor produk-produk AS, menerapkan tindakan safeguard (menjaga) dan countervailing measures (tindakan penanggulangan) yang setara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perdagangan, serta membentuk tim legal khusus untuk menyiapkan strategi litigasi di DSB WTO.
Dari sisi ekonomi domestik, Indonesia perlu merevisi Peraturan Presiden tentang fasilitas perdagangan untuk mendorong diversifikasi pasar ekspor, mengkaji penerapan Permendag Nomor 58/2022 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor untuk mengurangi ketergantungan impor dari AS, memperkuat perlindungan industri dalam negeri melalui penerapan SNI wajib untuk produk-produk tertentu, serta mengembangkan instrumen pendanaan ekspor khusus melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Penguatan regional juga menjadi penting dengan mempercepat perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan kerja sama ekonomi ASEAN lainnya, serta mengusulkan penerapan peraturan ASEAN tentang tindakan kolektif dalam merespons kebijakan diskriminatif negara mitra.
Untuk transformasi struktural jangka panjang, Indonesia perlu merevisi Undang-Undang Perindustrian untuk mendorong hilirisasi dan peningkatan nilai tambah produk ekspor, serta menerapkan insentif fiskal dan non-fiskal melalui PP No. 45/2019 untuk industri yang berorientasi ekspor ke pasar non-AS.
Kebijakan “Liberation Day” Trump menandai titik balik penting dalam perdagangan global. Bagaimana negara-negara merespons dan dampak ekonomi jangka panjang yang akan terjadi, masih perlu kita tunggu. Namun perlu diingat bahwa Indonesia memiliki fondasi hukum yang cukup kuat, baik secara nasional maupun internasional, untuk melindungi kepentingan ekonominya.
Dalam jangka panjang, Indonesia perlu melakukan peninjauan menyeluruh terhadap kerangka hukum ekonomi internasionalnya, termasuk kemungkinan renegosiasi Bilateral Investment Treaty dengan AS dan mengevaluasi efektivitas keterlibatan dalam forum multilateral seperti WTO. Meski proteksionisme dikemas sebagai “pembebasan ekonomi” oleh Trump, pada akhirnya konsumen dan produsen di seluruh dunia, termasuk di Amerika sendiri, yang akan merasakan bebannya. Indonesia harus mempersiapkan perangkat hukum dan ekonomi yang memadai untuk menghadapi era ketidakpastian dalam perdagangan global ini.