Pelindungan Kejagung oleh TNI: Perpres 66/2025 Langgar Konstitusi?

Ilustrasi. [Source: Istimewa]

JAGAT hukum Tanah Air tak pernah sepi dari kejadian yang menarik perhatian masyarakat. Pada 21 Mei 2025, Perpres Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia, telah memicu kontroversi dengan melegitimasi kehadiran personel TNI di gerbang kantor-kantor kejaksaan. Pasal 9 beleid tersebut menegaskan bahwa pelindungan yang dilakukan TNI kepada jaksa dapat berbentuk pelindungan terhadap institusi kejaksaan, dukungan dan bantuan personel TNI dalam pengawalan jaksa saat menjalankan tugas dan fungsi, maupun pelindungan lain sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang sifatnya strategis.

Hal tersebut memicu pertanyaan besar: apakah kebijakan ini sekadar upaya melindungi jaksa atau justru menantang batas konstitusi—termasuk melemahkan supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998?

Akar permasalahan ini sebenarnya bermula dari kebutuhan praktis yang disampaikan Kejaksaan Agung. Lembaga yang dipimpin oleh Jaksa Agung ini mengajukan permintaan dukungan pengamanan fisik untuk kantor-kantor kejaksaan di seluruh Indonesia. Alasan yang dikemukakan tampak logis: stabilitas kelembagaan menjadi kebutuhan mendesak saat kejaksaan sedang menangani kasus-kasus korupsi berskala besar yang melibatkan berbagai kepentingan politik dan ekonomi. Kasus korupsi timah ilegal dan skandal Pertamina yang sedang diselidiki secara intensif menjadi contoh konkret dari tingginya tekanan yang dihadapi institusi ini.

Melalui laporan Tirto.id yang berjudul “Kenapa TNI Jaga Kejaksaan dan Apakah Sesuai Tugasnya?”, terungkap implementasi MoU Nomor NK/6/IV/2023/TNI yaitu mengatur penugasan personel Polisi Militer (POM) TNI untuk mendukung pengamanan dan pelaksanan tugas Kejagung. Sedangkan dalam Surat Telegram Nomor ST/1192/2025 berisi perintah untuk mengerahkan 30 personel untuk setiap Kejaksaan Tinggi dan 10 personel untuk setiap Kejaksaan Negeri, dengan sistem rotasi bulanan yang memastikan kesinambungan pengamanan.

Menghadapi badai kritik yang terus berhembus, Kejaksaan Agung berupaya meredakan kekhawatiran publik dengan memberikan klarifikasi tegas. Mereka menegaskan bahwa peran TNI dalam konteks ini murni terbatas pada aspek pengamanan fisik—tidak ada campur tangan dalam proses penegakan hukum itu sendiri. Untuk memperkuat argumentasi mereka, Kejaksaan Agung merujuk pada landasan hukum yang tertuang dalam Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang secara eksplisit mengatur mengenai Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk pengamanan terhadap objek-objek vital nasional yang bersifat strategis.

Namun, justru di sinilah letak persoalan hukum yang paling fundamental yang memunculkan sebuah pertanyaan krusial: apakah Kejaksaan Agung dapat dikategorikan sebagai objek vital nasional yang memerlukan pengamanan militer? Status hukum inilah yang menjadi titik perdebatan paling sengit di kalangan ahli hukum. Harli Siregar selaku Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung dalam berita Tempo berjudul: “TNI Jaga Kejaksaan, Ini Aturan Pengamanan Objek Vital Nasional” (21/5) menyebutkan, bahwa Kejaksaan termasuk objek vital yang sangat strategis. Dalam sumber yang sama, Ketua Dewan SETARA Institute Hendardi mengatakan, bahwa kerja sama TNI dan Kejagung dalam pengamanan kantor itu tidak seharusnya dilakukan oleh kedua instansi, karena TNI dan kejaksaan memiliki wewenang berbeda.

Problematika Hukum dan Konstitusional

Persoalan hukum semakin kompleks ketika dikaitkan dengan pembagian tugas konstitusional antara TNI dan Polri. Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit menetapkan bahwa TNI bertugas menjaga pertahanan negara, sementara keamanan dalam negeri—termasuk pengamanan lembaga sipil seperti kejaksaan—merupakan domain Polri berdasarkan Pasal 30 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini semakin diperkuat oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang menilai kebijakan ini melanggar TAP MPR Nomor VII/2000, yang secara tegas menegaskan pemisahan tugas TNI dan Polri untuk mencegah kembalinya dwifungsi militer.

Pelibatan TNI dalam pengamanan Kejagung berpotensi menimbulkan kompleksitas yuridis terkait prinsip independensi kejaksaan. Mengingat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menegaskan bahwa kejaksaan menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.

Penerbitan Perpres 66/2025 menunjukkan pola yang dalam kajian kebijakan publik dikenal sebagai strategi fait accompli atau “fakta yang sudah terjadi”. Strategi ini dilakukan dengan cara melaksanakan suatu tindakan terlebih dahulu, baru kemudian membuat aturan hukum untuk melegitimasi tindakan tersebut guna mengurangi penolakan. Dalam kasus ini, pengerahan personel TNI melalui Surat Telegram telah dilakukan sebelum ada dasar hukum yang memadai. Perpres 66/2025 kemudian diterbitkan sebagai upaya untuk memberikan legitimasi hukum atas tindakan yang sudah berjalan tersebut.

Dari perspektif reformasi sektor keamanan, kebijakan ini berpotensi serius melemahkan prinsip supremasi sipil dan mengaburkan batas konstitusional yang telah ditetapkan antara fungsi militer dan kepolisian. Hal ini menjadi isu yang sangat sensitif mengingat sejarah Indonesia dengan dwifungsi militer sebelum reformasi 1998. TAP MPR VII/2000 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri secara eksplisit menegaskan pemisahan tugas ini untuk mencegah kembalinya peran militer dalam urusan sipil yang berlebihan.

Sebagai penutup, Perpres 66/2025 menghadirkan dilema antara perlindungan jaksa dan risiko pelanggaran konstitusi. Meski bertujuan memperkuat penegakan hukum, kebijakan ini rentan disalahartikan sebagai militerisasi ranah sipil. Tanpa langkah korektif, Perpres ini berpotensi melemahkan prinsip supremasi sipil dan independensi Kejagung, yang merupakan pilar penting sistem hukum nasional. Evaluasi menyeluruh oleh Presiden dan DPR diperlukan untuk memastikan bahwa perlindungan jaksa tetap sejalan dengan konstitusi dan tidak membuka ruang bagi kembalinya dwifungsi TNI.

Tell Your Friends
Fernando Wirawan, S.H., M.H.
At Pragma Integra, Fernando serves as Legal Consultant focusing on policy and regulatory analysis, environmental law consultation, and economic law.

Leave A Comment

Integrated Legal & Business Solutions

Have Tax and Business Problems? Let's Solve Them Together

From complex tax disputes to critical corporate decisions, Pragma Integra is here to guide you with trusted expertise and strategic solutions.