Menakar RUU KUHAP: Hak Warga Negara atau Kuasa Negara?

Ilustrasi. [Source: Canva]

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kini menjadi sorotan publik. Pembaruan ini dipandang sebagai langkah penting menuju sistem peradilan pidana yang lebih modern dan efisien. Namun, beberapa pasal di dalamnya menimbulkan kekhawatiran karena orientasi hukum terlalu menekankan kontrol dan efisiensi penegakan hukum dengan mengorbankan perlindungan hak warga negara. Pertanyaan mendasar muncul: apakah RUU KUHAP dirancang untuk menjamin keadilan bagi warga negara, atau justru memperkuat kuasa negara atas nama penegakan hukum?

Dalam konteks ini, pandangan Satjipto Rahardjo melalui karya berjudul: Membedah Hukum Progresif (2006), ia menegaskan: “Hukum tidak boleh menjadi sekadar alat teknis yang kaku, tetapi harus hidup dan berpihak pada kemanusiaan.” RUU KUHAP, dengan segala potensinya, harus dievaluasi melalui lensa hukum objektif untuk memastikan bahwa setiap ketentuan tidak hanya memperkuat penegakan hukum, tetapi juga menjaga martabat dan hak asasi warga negara. Tanpa keseimbangan ini, hukum dapat menjadi alat yang kaku, melayani kepentingan negara di atas kebutuhan masyarakat yang seharusnya dilindunginya.

Kekhawatiran ini bukan sekadar teori, melainkan tercermin dalam beberapa pasal RUU KUHAP yang berpotensi mengorbankan hak individu demi efisiensi prosedural. Salah satu contoh nyata adalah Pasal 90 ayat (1), disebutkan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan paling lama satu hari, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu, penangkapan dapat dilakukan lebih dari satu hari. Meskipun ketentuan ini mungkin dimaksudkan untuk mengakomodasi situasi khusus dalam penegakan hukum, frasa “dalam hal tertentu” yang tidak dijelaskan secara rinci berpotensi menimbulkan interpretasi yang beragam. Kejelasan batasan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa perpanjangan masa penangkapan tidak menjadi sarana yang dapat disalahgunakan.

Aspek penting lainnya adalah perlunya mekanisme pengawasan yang memadai dalam proses penangkapan. Pengawasan yudisial atau praperadilan yang efektif dan cepat dapat menjadi jaminan bahwa setiap tindakan hukum terhadap warga negara dilaksanakan sesuai dengan prinsip due process of law. Dengan demikian, keseimbangan antara kepentingan penegakan hukum dan perlindungan hak individu dapat lebih terjamin.

Perhatian juga perlu diberikan pada Pasal 16 tentang metode penyelidikan. Pasal ini memuat berbagai metode seperti pengamatan, wawancara, penyamaran, hingga pembelian terselubung. Fleksibilitas memang diperlukan dalam penyelidikan, namun poin (k) yang menyebutkan bahwa penyelidikan juga bisa dilakukan dengan “kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan” menimbulkan pertanyaan tentang batasan yang jelas.

Dari perspektif aparat penegak hukum, ketentuan ini memberikan ruang gerak yang diperlukan untuk menghadapi dinamika kejahatan yang semakin kompleks. Namun dari sisi perlindungan hak warga negara, kejelasan batasan sangat penting untuk mencegah tindakan yang potensial melanggar privasi atau hak asasi lainnya. Keseimbangan ini dapat dicapai dengan menambahkan parameter yang lebih spesifik dan mekanisme pengawasan yang transparan.

RUU KUHAP juga memperkenalkan mekanisme keadilan restoratif dalam Pasal 74 hingga 76, sebuah pendekatan yang menekankan pemulihan daripada pembalasan. Namun, implementasi yang efektif memerlukan kejelasan prosedur dan pengawasan yang memadai. Dalam pasal-pasal tersebut, disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan dapat dilakukan berdasarkan permintaan pelaku atau penawaran dari penyidik atau penuntut umum. Untuk memastikan proses ini berjalan sesuai semangat keadilan restoratif, diperlukan parameter yang jelas dan pengawasan eksternal. Hal ini akan membantu mencegah situasi di mana korban merasa terpaksa menerima perdamaian atau pelaku mendapatkan keistimewaan yang tidak semestinya.

Pasal 75 menyebutkan syarat-syarat untuk dapat menyelesaikan perkara secara restoratif, seperti pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan telah terjadi pemulihan keadaan semula. Implementasi efektif dari ketentuan ini memerlukan sistem database terpadu yang dapat memverifikasi riwayat pelaku dengan akurat. Selain itu, proses verifikasi pemulihan keadaan dan kerelaan korban perlu dilakukan oleh pihak netral untuk menjamin objektivitas dan terbuka.

Hak-hak warga negara

RUU KUHAP sebagai tonggak pembaruan hukum pidana memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas peradilan di Indonesia. Namun, keberhasilan reformasi ini bergantung pada kejelasan rumusan pasal-pasal kunci dan kekuatan mekanisme pengawasan. Revisi terhadap pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan interpretasi beragam akan memperkuat perlindungan bagi semua pihak dalam proses peradilan.

Seperti yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman dalam “Law and Society: A Sociological Approach” (1977), sistem hukum harus menyeimbangkan kebutuhan akan ketertiban dengan perlindungan hak individu. Kerangka ini menjadi penting untuk mengevaluasi RUU KUHAP, memastikan bahwa penegakan hukum tidak mengorbankan kebebasan sipil warga negara dalam sistem peradilan pidana.”

Untuk itu, dialog konstruktif antara DPR, pemerintah, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan juga aparat penegak hukum menjadi sangat penting. Setiap perspektif memiliki kontribusi yang berharga dalam menyempurnakan RUU ini. Dengan melibatkan berbagai sudut pandang, kita dapat membangun sistem hukum acara pidana yang tidak hanya efektif dalam penegakan hukum tetapi juga menghormati dan melindungi hak asasi setiap warga negara.

Hukum sejatinya adalah jembatan menuju keadilan dan ketertiban sosial, sebuah alat yang tidak hanya mengatur, tetapi juga mengangkat harkat kemanusiaan. Dengan legislasi yang inklusif dan transparan, melibatkan suara rakyat serta nurani para pembuat kebijakan, RUU KUHAP berpotensi menjadi pilar kokoh sistem peradilan pidana yang tidak sekadar efektif dalam menegakkan hukum, tetapi juga menjunjung tinggi martabat warga negara. Inilah saatnya Indonesia membuktikan bahwa hukum bukan hanya alat kekuasaan semata, melainkan cerminan komitmen kolektif untuk membangun peradaban.

Tags:
Tell Your Friends
Fernando Wirawan, S.H., M.H.
At Pragma Integra, Fernando serves as Legal Consultant focusing on policy and regulatory analysis, environmental law consultation, and economic law.

Leave A Comment

Integrated Legal & Business Solutions

Have Tax and Business Problems? Let's Solve Them Together

From complex tax disputes to critical corporate decisions, Pragma Integra is here to guide you with trusted expertise and strategic solutions.