Legitimacy Theory: Kerangka Kerja Kritis dalam Tata Kelola Perusahaan Modern

Ilustrasi. [Foto: Canva]

Teori Legitimasi (Legitimacy Theory) telah muncul sebagai kerangka kerja penting dalam memahami tata kelola perusahaan (corporate governance), khususnya dalam hal bagaimana organisasi berinteraksi dengan pemangku kepentingan mereka dan masyarakat luas. Pada intinya, Teori Legitimasi berpendapat bahwa organisasi harus menyelaraskan operasi dan praktik mereka dengan norma dan nilai-nilai masyarakat untuk mendapatkan penerimaan dan dukungan dari pemangku kepentingan. Teori ini sangat relevan dalam konteks tata kelola perusahaan, di mana legitimasi sebuah perusahaan dapat secara signifikan memengaruhi keberhasilan operasional dan keberlanjutannya. Konsep dasar Teori Legitimasi dalam tata kelola perusahaan adalah bahwa organisasi tidak hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham mereka tetapi juga kepada berbagai pemangku kepentingan, termasuk karyawan, pelanggan, pemasok, dan masyarakat luas. Perspektif ini menekankan bahwa legitimasi sangat penting bagi organisasi untuk berkembang, karena memengaruhi kemampuan mereka untuk mengamankan sumber daya, mempertahankan reputasi positif, dan mencapai kesuksesan jangka panjang.[1] [2]

Prinsip-prinsip utama yang mendasari Teori Legitimasi mencakup gagasan bahwa legitimasi dibangun secara sosial dan bergantung pada konteks. Organisasi harus terus terlibat dengan pemangku kepentingan mereka untuk memahami ekspektasi dan norma yang berkembang yang mendefinisikan legitimasi dalam konteks spesifik mereka. Ini melibatkan proses dinamis dalam mengisyaratkan legitimasi melalui berbagai cara, seperti inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR), pelaporan transparan, dan praktik keterlibatan pemangku kepentingan. Misalnya, perusahaan sering menggunakan pelaporan keberlanjutan sebagai alat untuk mengkomunikasikan komitmen mereka terhadap tata kelola lingkungan dan sosial, sehingga meningkatkan legitimasi mereka di mata pemangku kepentingan.[3] [4]

Lebih lanjut, teori ini menunjukkan bahwa organisasi dapat mengadopsi strategi berbeda untuk mengelola legitimasi, termasuk kesesuaian dengan ekspektasi masyarakat, ketidaksesuaian selektif, atau upaya membangun legitimasi secara proaktif.[5]

Teori Legitimasi menjelaskan hubungan antara perusahaan dan masyarakat dengan membingkainya sebagai interaksi timbal balik. Perusahaan diharapkan beroperasi dengan cara yang tidak hanya menguntungkan tetapi juga bertanggung jawab secara sosial dan etis. Hubungan ini dicirikan oleh kontrak sosial, di mana organisasi harus menunjukkan nilai mereka kepada masyarakat untuk mempertahankan legitimasi mereka. Misalnya, perusahaan yang terlibat dalam praktik berkelanjutan ramah lingkungan sering dipandang lebih baik oleh konsumen dan pemangku kepentingan, yang dapat menghasilkan peningkatan loyalitas merek dan pangsa pasar.[6]

Teori ini juga menyoroti konsekuensi potensial dari kehilangan legitimasi, seperti reaksi publik yang negatif, pengawasan regulasi, dan berkurangnya kepercayaan pemangku kepentingan, yang dapat berdampak buruk pada viabilitas operasional perusahaan.[7]

Implikasi praktis dari Teori Legitimasi untuk praktik tata kelola perusahaan sangat mendalam. Organisasi semakin menyadari pentingnya menyelaraskan struktur dan praktik tata kelola mereka dengan ekspektasi masyarakat. Penyelarasan ini sering terwujud dalam adopsi strategi CSR yang kuat, inisiatif keterlibatan pemangku kepentingan, dan mekanisme pelaporan yang transparan. Misalnya, perusahaan mungkin menerapkan inisiatif keberlanjutan tidak hanya untuk mematuhi peraturan tetapi juga untuk meningkatkan legitimasi dan reputasi mereka di antara pemangku kepentingan.[8] Selain itu, teori ini menggarisbawahi perlunya organisasi untuk proaktif dalam upaya membangun legitimasi, karena tindakan reaktif mungkin tidak cukup dalam lingkungan bisnis yang berubah cepat di mana ekspektasi pemangku kepentingan terus berkembang.[9]

Dalam lingkungan bisnis modern, relevansi Teori Legitimasi tidak bisa dilebih-lebihkan. Seiring konsumen menjadi lebih sadar secara sosial dan lingkungan, organisasi terdorong untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap praktik etis dan keberlanjutan. Pergeseran ini telah menyebabkan peningkatan fokus pada kerangka tata kelola perusahaan yang memprioritaskan kepentingan pemangku kepentingan bersama dengan nilai pemegang saham. Misalnya, perusahaan yang gagal menangani masalah sosial dan lingkungan berisiko menghadapi kerusakan reputasi dan kehilangan posisi pasar, seperti terlihat dalam berbagai kasus pelanggaran perusahaan yang mendapat sorotan publik.[10] Selain itu, munculnya media sosial dan komunikasi digital telah memperkuat pengawasan terhadap tindakan perusahaan, membuat organisasi wajib mempertahankan legitimasi melalui praktik yang transparan dan bertanggung jawab.[11]

Terlepas dari kekuatannya, Teori Legitimasi juga memiliki keterbatasan dalam menjelaskan tata kelola perusahaan. Salah satu tantangan kritis adalah sifat subjektif dari legitimasi, yang dapat bervariasi secara signifikan di berbagai konteks budaya dan sosial. Variabilitas ini mempersulit pembentukan standar universal untuk legitimasi, karena apa yang dianggap sah dalam satu konteks mungkin tidak memiliki nilai yang sama dalam konteks lain.[12]

Selanjutnya, teori ini mungkin tidak cukup memperhitungkan kompleksitas dinamika kekuasaan dan pengaruh kepentingan tertentu dalam membentuk persepsi legitimasi. Misalnya, organisasi mungkin terlibat dalam “greenwashing”—praktik di mana mereka secara palsu menggambarkan diri mereka sebagai ramah lingkungan—untuk memanipulasi persepsi pemangku kepentingan tanpa membuat perubahan substansial pada operasi mereka.[13] Ini menyoroti perlunya pemahaman yang lebih bernuansa tentang legitimasi yang mempertimbangkan interaksi berbagai faktor, termasuk hubungan kekuasaan, tekanan institusional, dan aktivisme pemangku kepentingan.[14]

Sebagai kesimpulan, Teori Legitimasi memberikan perspektif berharga untuk mengkaji tata kelola perusahaan dalam masyarakat kontemporer. Penekanannya pada pentingnya menyelaraskan praktik organisasi dengan ekspektasi masyarakat menggarisbawahi perlunya perusahaan untuk terlibat aktif dengan pemangku kepentingan mereka. Meskipun teori ini menawarkan wawasan signifikan tentang dinamika legitimasi, teori ini juga menghadirkan tantangan yang memerlukan eksplorasi lebih lanjut. Seiring lanskap bisnis terus berkembang, relevansi Teori Legitimasi kemungkinan akan tetap ada, memerlukan penelitian dan adaptasi berkelanjutan untuk memastikan organisasi dapat menavigasi kompleksitas legitimasi dalam dunia yang berubah dengan cepat.

Referensi

[1] et. al. Gehan. A Mousa, ‘Legitimacy Theory and Environmental Practices: Short Notes’, International Journal of Business and Statistical Analysi, 2.1 (2015), pp. 41–53, doi:10.12785/ijbsa/020104.

[2] Craig Deegan, ‘Legitimacy Theory’, Accounting Auditing & Accountability Journal, ahead-of-print.ahead-of-print (2019), doi:10.1108/aaaj-08-2018-3638.

[3] Irshad Ali, Sumit Lodhia, and Anil K Narayan, ‘Value Creation Attempts via Photographs in Sustainability Reporting: A Legitimacy Theory Perspective’, Meditari Accountancy Research, 29.2 (2020), pp. 247–63, doi:10.1108/medar-02-2020-0722.

[4] Dennis M Patten, ‘Seeking Legitimacy’, Sustainability Accounting Management and Policy Journal, 11.6 (2019), pp. 1009–21, doi:10.1108/sampj-12-2018-0332.

[5] Lan He and Stephen Wilkins, ‘Achieving Legitimacy in Cross-Border Higher Education: Institutional Influences on Chinese International Branch Campuses in South East Asia’, Journal of Studies in International Education, 22.3 (2017), pp. 179–97, doi:10.1177/1028315317738774.

[6] Emilio Díez-de-Castro, Francisco Diéz‐Martín, and Martin Madrid-Sanz, ‘The Organizational Legitimacy as an Entry Barrier in Large International Contracts’, Harvard Deusto Business Research, 8.2 (2019), pp. 175–88, doi:10.3926/hdbr.247.

[7] Deegan, ‘Legitimacy Theory’.

[8] Jooyoung Kwak, Zhang Yue, and Yu Jiang, ‘Legitimacy Building and E-Commerce Platform Development in China: The Experience of Alibaba’, Technological Forecasting and Social Change, 139 (2019), pp. 115–24, doi:10.1016/j.techfore.2018.06.038.

[9] Ali, Lodhia, and Narayan, ‘Value Creation Attempts via Photographs in Sustainability Reporting: A Legitimacy Theory Perspective’.

[10] Simone Dietrich and Matthew S Winters, ‘Foreign Aid and Government Legitimacy’, Journal of Experimental Political Science, 2.2 (2015), pp. 164–71, doi:10.1017/xps.2014.31.

[11] Patten, ‘Seeking Legitimacy’.

[12] Mahabub Hossain and others, ‘Regulatory Influence on Sustainability Reporting: Evidence From Murray–Darling Basin Authority in Australia’, Meditari Accountancy Research, 31.5 (2022), pp. 1386–1409, doi:10.1108/medar-07-2020-0943.

[13] Sarah B K von Billerbeck and Birte J Gippert, ‘Legitimacy in Conflict: Concepts, Practices, Challenges’, Journal of Intervention and Statebuilding, 11.3 (2017), pp. 273–85, doi:10.1080/17502977.2017.1357701.

[14] Thomas Risse‐Kappen and Eric Stollenwerk, ‘Legitimacy in Areas of Limited Statehood’, Annual Review of Political Science, 21.1 (2018), pp. 403–18, doi:10.1146/annurev-polisci-041916-023610.

Pragma Integra Institute
Pragma Integra is a law firm that combines deep expertise in taxation, corporate and business law, and business development.

Leave A Comment

Integrated Legal & Business Solutions

Have Tax and Business Problems? Let's Solve Them Together

From complex tax disputes to critical corporate decisions, Pragma Integra is here to guide you with trusted expertise and strategic solutions.