Perkembangan teknologi dan kompleksitas bisnis di era modern telah membawa perubahan signifikan dalam cara perusahaan dikelola dan keputusan bisnis diambil. Di tengah perubahan ini, pemahaman tradisional tentang tata kelola perusahaan yang berbasis pada asumsi rasionalitas penuh dalam pengambilan keputusan mulai dipertanyakan. Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa faktor-faktor psikologis dan perilaku manusia memainkan peran krusial dalam proses pengambilan keputusan perusahaan, yang tidak selalu sejalan dengan model rasional klasik.
Teori tata kelola perilaku (Behavioral Governance Theory) muncul sebagai pendekatan inovatif yang menjembatani kesenjangan antara teori klasik dan realitas empiris dalam tata kelola perusahaan. Dengan mengintegrasikan wawasan dari psikologi, ekonomi perilaku, dan ilmu kognitif, teori ini menawarkan perspektif baru dalam memahami bagaimana keputusan bisnis sebenarnya dibuat di dunia nyata.
Pendekatan ini tidak hanya memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang perilaku para pembuat keputusan dalam perusahaan, tetapi juga menyediakan kerangka kerja praktis untuk meningkatkan kualitas tata kelola perusahaan dengan mempertimbangkan aspek kemanusiaan dari para pengambil keputusan.
Konsep dan Prinsip Dasar Teori Tata Kelola Perilaku (Behavioral Vovernance Theory)
Behavioral Vovernance Theory atau Teori tata kelola perilaku adalah pendekatan yang berkembang dalam hukum dan tata kelola perusahaan yang mengintegrasikan wawasan dari ekonomi perilaku dan psikologi untuk memahami bagaimana bias kognitif dan faktor psikologis memengaruhi proses pengambilan keputusan perusahaan.[1] [2] Teori ini menantang asumsi tradisional tentang “manusia ekonomi rasional” dan menyatakan bahwa pemimpin dan direktur perusahaan tunduk pada berbagai bias perilaku yang dapat mengakibatkan keputusan yang tidak optimal.[3] [4]
Prinsip-prinsip utama teori tata kelola perilaku meliputi:
- Rasionalitas terbatas: Pengambil keputusan perusahaan memiliki kemampuan kognitif dan kapasitas pemrosesan informasi yang terbatas, yang membuat mereka bergantung pada heuristik dan jalan pintas mental yang dapat mengakibatkan bias sistematis.[5] [6]
- Bias kepercayaan diri berlebihan: Eksekutif cenderung terlalu menilai tinggi kemampuan mereka dan kemungkinan hasil positif, yang dapat menyebabkan pengambilan risiko berlebihan dan keputusan strategis yang buruk.[7] [8]
- Efek pembingkaian: Cara informasi disajikan dapat secara signifikan memengaruhi keputusan perusahaan, karena pengambil keputusan rentan terhadap bias pembingkaian.[9] [10]
- Perilaku meniru: Manajer mungkin meniru tindakan rekan-rekan mereka, bahkan jika tindakan tersebut tidak optimal, karena pengaruh sosial dan pertimbangan reputasi.[11][12]
Pengaruh Bias Perilaku pada Pengambilan Keputusan Perusahaan
Berbagai studi empiris telah menunjukkan dampak bias perilaku pada berbagai aspek pengambilan keputusan perusahaan[13] [14]:
- Keputusan investasi dan pembiayaan: Bias kepercayaan diri berlebihan dapat membuat manajer terlalu banyak berinvestasi dalam proyek berisiko dan meremehkan biaya modal.[15] [16]
- Merger dan akuisisi: Kepercayaan diri berlebihan dan bias optimisme manajer dapat mengakibatkan pembayaran berlebih untuk perusahaan target dan mengejar merger yang merusak nilai.[17] [18]
- Manajemen risiko perusahaan: Efek pembingkaian dan penghindaran kerugian dapat menyebabkan manajer terlalu menghindari risiko atau mencari risiko, tergantung pada bagaimana risiko disajikan.[19] [20]
- Kompensasi eksekutif: Bias penjangkaran dan perbandingan sosial dapat memengaruhi penetapan gaji eksekutif, yang mengakibatkan tingkat kompensasi yang berlebihan.[21] [22]
Evolusi dari Pendekatan Tata Kelola Tradisional
Teori tata kelola perilaku merupakan pergeseran dari kerangka tata kelola perusahaan tradisional, yang terutama didasarkan pada teori keagenan dan asumsi tentang aktor rasional yang mementingkan diri sendiri.[23] [24] Dengan memasukkan faktor psikologis, teori tata kelola perilaku memberikan pemahaman yang lebih terperinci tentang proses pengambilan keputusan dalam organisasi dan potensi bias yang dapat melemahkan tata kelola yang efektif.[25] [26]
Evolusi ini didorong oleh bukti empiris yang semakin banyak yang menunjukkan keterbatasan model aktor rasional tradisional dan kebutuhan untuk memperhitungkan aspek kognitif dan emosional dalam pengambilan keputusan perusahaan. [27] [28]
Dukungan Empiris untuk Teori Tata Kelola Perilaku
Berbagai studi empiris telah memberikan dukungan untuk prinsip-prinsip utama teori tata kelola perilaku dalam lingkungan perusahaan:[29] [30]
- Studi menemukan bahwa bias kepercayaan diri berlebihan di kalangan CEO dikaitkan dengan tingkat investasi perusahaan yang lebih tinggi, merger dan akuisisi yang lebih agresif, dan kinerja perusahaan yang lebih rendah.
- Efek pembingkaian telah terbukti memengaruhi pengambilan risiko perusahaan, di mana manajer lebih menghindari risiko ketika risiko dibingkai dalam hal potensi kerugian dan lebih mencari risiko ketika dibingkai sebagai potensi keuntungan.
- Perilaku meniru telah diamati di antara direktur perusahaan, di mana mereka lebih cenderung membuat keputusan yang sejalan dengan rekan-rekan mereka, bahkan jika keputusan tersebut tidak optimal bagi perusahaan.
Implikasi Praktis Teori Tata Kelola Perilaku
Teori tata kelola perilaku memiliki beberapa implikasi praktis untuk praktik tata kelola perusahaan:
- Pengambilan keputusan dewan: Dewan harus menyadari potensi bias perilaku yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan mereka dan menerapkan strategi untuk mengurangi bias ini, seperti mendorong perspektif yang beragam, menggunakan teknik penghilangan bias, dan menerapkan proses pengambilan keputusan formal.
- Perilaku eksekutif: Perusahaan harus mempertimbangkan dampak bias perilaku pada pengambilan keputusan eksekutif dan menerapkan struktur kompensasi dan sistem evaluasi kinerja yang mendorong perilaku rasional yang memaksimalkan nilai.
- Kebijakan perusahaan: Wawasan perilaku dapat menginformasikan desain kebijakan dan prosedur perusahaan, seperti kerangka manajemen risiko, proses pengambilan keputusan investasi, dan strategi merger dan akuisisi.
- Manajemen risiko: Teori tata kelola perilaku dapat membantu organisasi lebih memahami dan mengelola faktor psikologis yang berkontribusi pada pengambilan risiko dan perilaku menghindari risiko, yang mengarah pada praktik manajemen risiko yang lebih efektif.
Kekuatan dan Keterbatasan Teori Tata Kelola Perilaku
Kekuatan:
- Memberikan pemahaman yang lebih realistis dan terperinci tentang proses pengambilan keputusan perusahaan dengan memperhitungkan faktor psikologis.
- Menawarkan wawasan praktis untuk meningkatkan praktik tata kelola perusahaan dan mengurangi efek negatif dari bias perilaku.
- Berintegrasi dengan baik dengan teori tata kelola lainnya, seperti teori keagenan dan teori penatalayanan, untuk memberikan kerangka kerja yang lebih komprehensif dalam memahami tata kelola perusahaan.
Keterbatasan:
- Kesulitan dalam mengukur dan mengkuantifikasi dampak bias perilaku, yang dapat bergantung pada konteks dan sulit diamati.
- Potensi resistensi dari praktisi tata kelola perusahaan tradisional yang mungkin skeptis terhadap relevansi faktor psikologis.
- Tantangan dalam mengembangkan strategi penghilangan bias yang efektif dan menerapkannya dalam lingkungan organisasi yang kompleks.
Aplikasi dalam Kerangka Tata Kelola Perusahaan Modern
Teori tata kelola perilaku semakin terintegrasi ke dalam kerangka tata kelola perusahaan modern, terutama di bidang manajemen risiko, kompensasi eksekutif, dan pengambilan keputusan dewan:
- Regulator dan pembuat kebijakan telah mulai memasukkan wawasan perilaku ke dalam kode dan peraturan tata kelola perusahaan, seperti persyaratan untuk keragaman dewan dan penggunaan teknik penghilangan bias dalam pengambilan keputusan.
- Perusahaan mengadopsi pendekatan berbasis perilaku untuk kompensasi eksekutif, seperti menggunakan ketentuan clawback dan kompensasi yang ditangguhkan untuk mengurangi efek kepercayaan diri berlebihan dan orientasi jangka pendek.
- Dewan menerapkan strategi untuk meningkatkan proses pengambilan keputusan mereka, seperti menggunakan teknik devil’s advocate, melakukan pre-mortem, dan mendorong pandangan yang berbeda untuk melawan pengaruh bias perilaku.
Integrasi dengan Teori Tata Kelola Lainnya
Teori tata kelola perilaku dapat diintegrasikan dengan teori tata kelola perusahaan lainnya untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang pengambilan keputusan dan kinerja perusahaan:
- Teori keagenan: Bias perilaku dapat memperburuk masalah keagenan dengan membuat manajer mengejar kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan pemegang saham.
- Teori penatalayanan: Faktor perilaku, seperti motivasi intrinsik dan identifikasi dengan organisasi, dapat memengaruhi manajer untuk bertindak sebagai penatalayan daripada agen yang mementingkan diri sendiri.
- Teori ketergantungan sumber daya: Bias perilaku dapat memengaruhi cara perusahaan memanfaatkan sumber daya dan hubungan eksternal mereka, seperti dalam konteks merger dan akuisisi.
Teori institusional: Bias perilaku dapat membentuk cara perusahaan merespons tekanan dan norma institusional, yang mengarah pada perilaku isomorfik atau resistensi terhadap perubahan.
Referensi
[1] Ziyuan Sun and others, ‘Evolutionary Game Analysis of Coal Enterprise Resource Integration Under Government Regulation’, Environmental Science and Pollution Research, 29.5 (2021), pp. 7127–52, doi:10.1007/s11356-021-15503-z.
[2] Pitabas Mohanty and Supriti Mishra, ‘A Comparative Study of Corporate Governance Practices of Indian Firms Affiliated to Business Groups and Industries’, Corporate Governance, 22.2 (2021), pp. 278–301, doi:10.1108/cg-03-2021-0095.
[3] Mahmood A Momin, Deryl Northcott, and Mohammed Hossain, ‘Greenhouse Gas Disclosures by Chinese Power Companies: Trends, Content and Strategies’, Journal of Accounting & Organizational Change, 13.3 (2017), pp. 331–58, doi:10.1108/jaoc-07-2015-0054.
[4] Bishnu K Adhikary, Ranjan K Mitra, and Mohammad R Meah, ‘Do Manufacturing Firms in Bangladesh Engage in Earnings Management to Avoid Losses? Further Evidence Using the Governance Elements as Monitors’, Journal of Financial Reporting and Accounting, 19.5 (2021), pp. 839–60, doi:10.1108/jfra-05-2020-0131.
[5] Sonal Ahuja and Karan Grover, ‘Excessive Use of Social Networking Sites and Intention to Invest in Stock Market Among Gen Z: A Parallel Mediation Model’, Journal of Content Community and Communication, 17.9 (2023), pp. 63–79, doi:10.31620/jccc.06.23/06.
[6] Hongda Liu and others, ‘Assessing Chinese Governance Low-Carbon Economic Peer Effects in Local Government and Under Sustainable Environmental Regulation’, Environmental Science and Pollution Research, 30.22 (2022), pp. 61304–23, doi:10.1007/s11356-021-17901-9.
[7] Monica V Achim, Sorin N Borlea, and Codruța Mare, ‘Corporate Governance and Business Performance: Evidence for the Romanian Economy’, Journal of Business Economics and Management, 17.3 (2015), pp. 458–74, doi:10.3846/16111699.2013.834841.
[8] Huimin Li, David Arditi, and Zhuofu Wang, ‘Determinants of Transaction Costs in Construction Projects’, Journal of Civil Engineering and Management, 21.5 (2015), pp. 548–58, doi:10.3846/13923730.2014.897973.
[9] Linzi J Kemp, Megan Mathias, and Maryam Raji, ‘Representative Bureaucracy in the Arab Gulf States’, International Journal of Public Sector Management, 32.3 (2019), pp. 230–46, doi:10.1108/ijpsm-07-2017-0198.
[10] Girish Mude and Swapnil Undale, ‘Social Media Usage’, International Journal of E-Business Research, 19.1 (2023), pp. 1–20, doi:10.4018/ijebr.317889.
[11] Jette S Knudsen, ‘Government Regulation of International Corporate Social Responsibility in the US and the UK: How Domestic Institutions Shape Mandatory and Supportive Initiatives’, British Journal of Industrial Relations, 56.1 (2017), pp. 164–88, doi:10.1111/bjir.12253.
[12] Natacha Klein, Tomás B Ramos, and Pauline Deutz, ‘Factors and Strategies for Circularity Implementation in the Public Sector: An Organisational Change Management Approach for Sustainability’, Corporate Social Responsibility and Environmental Management, 29.3 (2021), pp. 509–23, doi:10.1002/csr.2215.
[13] Hsiang-Te Liu, ‘The Influence of Public Servants’ Perceived Formalism and Organizational Environmental Strategy on Green Behavior in the Workplace’, Sustainability, 13.19 (2021), p. 11020, doi:10.3390/su131911020.
[14] William C Rivenbark, Whitney B Afonso, and Dale J Roenigk, ‘Capital Spending in Local Government’, Journal of Public Budgeting Accounting & Financial Management, 30.4 (2018), pp. 402–14, doi:10.1108/jpbafm-05-2018-0053.
[15] Dina El-Bassiouny and Peter Letmathe, ‘The Adoption of CSR Practices in Egypt: Internal Efficiency or External Legitimation?’, Sustainability Accounting Management and Policy Journal, 9.5 (2018), pp. 642–65, doi:10.1108/sampj-10-2017-0126.
[16] Jianguo Du, ‘Explaining the Green Development Behavior of Local Governments for Sustainable Development: Evidence From China’, Behavioral Sciences, 13.10 (2023), p. 813, doi:10.3390/bs13100813.
[17] Zabihollah Rezaee and Nick J Rezae, ‘Stakeholder Governance Paradigm in Response to the COVID-19 Pandemic’, Journal of Corporate Governance Research, 4.1 (2020), p. 59, doi:10.5296/jcgr.v4i1.18314.
[18] Yuliya Ponomareva and others, ‘The Cost of Conformity to Good Governance: Board Design and Compensation’, Corporate Governance an International Review, 30.4 (2021), pp. 399–420, doi:10.1111/corg.12408.
[19] Erickson D Calata and Reginald Ugaddan, ‘From Social Trust and Happiness to Government Trust: The Moderating Role of Political Systems and Governance in the Philippines’, PCD Journal, 6.2 (2019), p. 305, doi:10.22146/pcd.41903.
[20] Zabihollah Rezaee, ‘Business Sustainability Research: A Theoretical and Integrated Perspective’, Journal of Accounting Literature, 36.1 (2016), pp. 48–64, doi:10.1016/j.acclit.2016.05.003.
[21] Linke Hou and others, ‘Of Time, Leadership, and Governance: Elite Incentives and Stability Maintenance in China’, Governance, 31.2 (2017), pp. 239–57, doi:10.1111/gove.12286.
[22] Retno M E Lestari, Wahyudin Zarkasyi, and Ida Farida, ‘The Influence of Biological Asset Accounting Policies and Corporate Governance Practices on the Financial Performance: Moderating Role of Knowledge About Renewable Energy’, International Journal of Energy Economics and Policy, 10.5 (2020), pp. 615–22, doi:10.32479/ijeep.10240.
[23] Nader Elsayed and Sameh Ammar, ‘Sustainability Governance and Legitimisation Processes: Gulf of Mexico Oil Spill’, Sustainability Accounting Management and Policy Journal, 11.1 (2020), pp. 253–78, doi:10.1108/sampj-09-2018-0242.
[24] Adijati Utaminingsih and others, ‘Green Business Behaviour, Green Technologies, and Sustainability in SMEs’, International Journal of Economics and Business Administration, VIII.Issue 1 (2020), pp. 417–24, doi:10.35808/ijeba/435.
[25] Ravshan Sharopov, ‘Behavioral Law and Antitrust Legislation in the Agro-Industrial Complex: Interconnection, Challenges, and Solutions’, Irshad J. Law and Policy, 1.6 (2023), doi:10.59022/ijlp.98.
[26] Ziwei Wang, Chunfeng Wang, and Fang Zhen-ming, ‘Common Institutional Ownership and Corporate Misconduct’, Managerial and Decision Economics, 44.1 (2022), pp. 102–36, doi:10.1002/mde.3669.
[27] Lyda S Bigelow, Jack A Nickerson, and Woo‐Yong Park, ‘When and How to Shift Gears: Dynamic Trade‐offs Among Adjustment, Opportunity, and Transaction Costs in Response to an Innovation Shock’, Strategic Management Journal, 40.3 (2019), pp. 377–407, doi:10.1002/smj.2996.
[28] Mingxi Zhao, ‘Common Institutional Ownership and Corporate Green Innovation: Supervision or Collusion?-Evidence From Chinese Listed Companies’, 2023, doi:10.3233/faia230712.
[29] Petros Vourvachis and Thérèse Woodward, ‘Content Analysis in Social and Environmental Reporting Research: Trends and Challenges’, Journal of Applied Accounting Research, 16.2 (2015), pp. 166–95, doi:10.1108/jaar-04-2013-0027.
[30] Qing Han and others, ‘Trust in Government Regarding COVID-19 and Its Associations With Preventive Health Behaviour and Prosocial Behaviour During the Pandemic: A Cross-Sectional and Longitudinal Study’, Psychological Medicine, 53.1 (2021), pp. 149–59, doi:10.1017/s0033291721001306.