Perusahaan rintisan (startup) telah menjadi fenomena yang menarik dalam lanskap ekonomi Indonesia. Meski mengalami pasang surut, kehadiran startup telah membawa transformasi signifikan sebagai penggerak inovasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami karakteristik yang mendefinisikan sebuah perusahaan sebagai startup.
Steve Blank, tokoh terkemuka dalam ekosistem startup, dalam artikel “The Effect of Levers of Control and Leadership Style on Creativity” (2020), mendefinisikan startup bukan sekadar sebagai bisnis kecil, melainkan sebagai organisasi yang secara aktif memvalidasi model bisnisnya melalui proses pengujian dan pembelajaran yang iteratif. Karakteristik utama startup mencakup komitmen terhadap inovasi, kelincahan operasional, dan kemampuan beradaptasi terhadap dinamika pasar—aspek-aspek yang membedakannya dari entitas bisnis tradisional.
Dalam perkembangannya, definisi startup telah berkembang untuk mencakup aspek inovasi dan skalabilitas model bisnis. Batasan-batasan yang mencirikan startup meliputi fase pengembangan awal, keterbatasan sumber daya, ketergantungan pada pendanaan eksternal, dan kompleksitas regulasi yang harus dihadapi.
Salah satu tantangan perusahaan startup yakni ketergantungan pada pembiayaan eksternal ini dapat menciptakan tekanan untuk mencapai pertumbuhan yang cepat, yang dapat mengarah pada praktik bisnis yang tidak berkelanjutan jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Berdasarkan data yang dilansir ekonomi.bisnis.com (20/12/2024) dalam “Startup Baru Makin Jarang Muncul, Menko Airlangga Ungkap Penyebabnya”, Indonesia saat ini memiliki posisi strategis dengan 2.651 startup—menempatkan negara ini di posisi keenam dunia. Lebih mengesankan lagi, ekosistem startup Indonesia telah melahirkan 15 unicorn dan 2 decacorn (GoTo dan J&T). Menurut Asisten Deputi Direktur Ekonomi Digital Kemenko Perekonomian, Danang Sri Wibowo, keberadaan startup menjadi fundamental penting dalam mewujudkan ekonomi digital sebagai penopang perekonomian nasional.
Tantangan signifikan yang dihadapi startup Indonesia tidak hanya terbatas pada aspek pendanaan, tetapi juga mencakup kompleksitas regulasi perpajakan dan keterbatasan keahlian dalam manajemen pajak. Asriyani dan Bandiyono dalam jurnal “Complexity Of Annual License Notification of Small-Medium Tax Business Taxes” (2019) mengungkapkan bahwa kompleksitas undang-undang perpajakan secara langsung mempengaruhi perilaku kepatuhan wajib pajak, terutama dalam persepsi risiko dan biaya kepatuhan. Ketika undang-undang perpajakan dianggap terlalu kompleks, perusahaan rintisan mungkin akan terhambat untuk mematuhinya secara penuh, yang dapat mengakibatkan peningkatan risiko denda dan tekanan keuangan.
Salah satu alasan utama perusahaan startup mengalami kesulitan dalam mematuhi peraturan di bidang pajak adalah tingginya tingkat perputaran dan sifat dinamis dari model bisnis mereka. Banyak startup beroperasi dalam kondisi ketidakpastian, yang dapat menyebabkan pelaporan keuangan yang tidak konsisten dan praktik administrasi pajak yang tidak memadai. Hal tersebut dijelaskan oleh Afriani dalam Jurnal berjudul “The Role of the Use of Information Technology in Orderly Financial Administration and Tax Compliance in Digital Business” (02/10/2023). Dalam artikel yang sama, Afriani juga menyebutkan, ada dua hal yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi pajak oleh perusahaan startup, yaitu tingkat perputaran bisnis digital di startup sangat tinggi dan proses administrasi keuangan pajak masih sangat rendah. Kurangnya partisipasi juga dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan wajib pajak mengenai kewajiban pajak.
Kasus-kasus seperti startup “UangTeman” yang mengalami kesulitan membayar kewajiban pajak pada 2021, serta tantangan kepatuhan pajak yang dihadapi GoTo dan Bukalapak pada 2022, menjadi pembelajaran penting bagi ekosistem startup. Situasi ini menunjukkan bahwa bahkan startup dengan kapitalisasi besar pun dapat menghadapi kesulitan dalam menyelaraskan pertumbuhan bisnis dengan kepatuhan regulasi. Mengutip cnbcindonesia.com (31/05/2022), Perusahaan-perusahaan ini, meskipun sukses dalam operasionalnya, menghadapi kesulitan dalam menyelaraskan praktik keuangan mereka dengan persyaratan regulasi yang ditetapkan oleh otoritas pajak Indonesia.
Kepatuhan Pajak
Perusahaan startup sering mengalami kesulitan dalam mematuhi peraturan karena rumitnya regulasi tersebut, yang dapat membebani pengusaha baru yang mungkin kurang berpengalaman dalam manajemen keuangan. Selain itu, sistem self-assessment di Indonesia menempatkan beban kepatuhan pajak pada startup itu sendiri, yang dapat menyebabkan kesalahan atau kelalaian jika mereka tidak memiliki pengetahuan atau sumber daya yang memadai.
Sebagai contoh, aturan pajak startup tetap akan mengacu pada pajak yang berlaku bagi Badan Usaha, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pajak penghasilan (PPh) baru dibebankan bila pendapatan perusahaan startup melebihi Rp4,8 Miliar atau di atas batas Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP) bagi Usaha Mikro, Kecil, dan menengah (UMKM).
Selain kewajiban atas pajak, perusahaan startup juga bisa mendapatkan insentif pajak dari pemerintah. Sebut saja PMK No. 153/PMK.010/2020 tentang Insentif Pajak untuk Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu. Peraturan tersebut memberikan Insentif yang mencakup pengurangan pajak untuk pengeluaran litbang, yang memungkinkan startup untuk memulihkan sebagian investasi mereka dalam mengembangkan produk atau teknologi baru. Hal ini sangat penting bagi startup yang berfokus pada kemajuan teknologi dan inovasi.
Untuk mengatasi tantangan kompleksitas perpajakan, beberapa solusi dapat diimplementasikan seperti pemanfaatan optimal insentif pajak yang tersedia khususnya untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, implementasi sistem manajemen keuangan dan perpajakan yang terintegrasi untuk memastikan pelaporan yang akurat dan tepat waktu, investasi dalam pelatihan dan pengembangan kompetensi tim internal di bidang perpajakan, kolaborasi dengan konsultan pajak yang memahami karakteristik unik bisnis startup, serta pengembangan strategi kepatuhan pajak jangka panjang yang sejalan dengan pertumbuhan bisnis.
Untuk bisa disebut patuh pajak tentu harus memahami apa itu pajak yang dapat dikenakan oleh perusahaan startup di Indonesia. Kemudian bagaimana persoalan yang ada di perusahaan startup seperti, perusahaan beroperasi dalam kondisi ketidakpastian, yang dapat menyebabkan pelaporan keuangan yang tidak konsisten dan hal tersebut tentu mempengaruhi pembayaran pajak.
Oleh sebab itu, perusahaan startup sebaiknya mempertimbangkan untuk mempekerjakan profesional atau konsultan pajak yang khusus menangani perpajakan startup. Para ahli ini dapat memberikan saran yang disesuaikan dan membantu dalam mengatasi kompleksitas sistem perpajakan, memastikan startup memenuhi kewajiban mereka sambil mengoptimalkan posisi pajak mereka. Hal ini sangat penting bagi startup yang mungkin tidak memiliki keahlian internal untuk mengelola kepatuhan pajak secara efektif.
Baca juga: Panduan Komprehensif Implementasi Perencanaan Pajak (Tax Planning) untuk Perusahaan
Kepatuhan pajak bagi startup bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan bagian integral dari sustainability bisnis. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang kewajiban perpajakan, didukung oleh sistem dan sumber daya yang memadai, startup Indonesia dapat fokus pada inovasi dan pertumbuhan sambil tetap memenuhi kewajiban regulatorinya. Pencapaian keseimbangan antara pertumbuhan bisnis dan kepatuhan pajak akan menjadi kunci kesuksesan jangka panjang bagi ekosistem startup di Indonesia.