Pertanggungjawaban Pidana Korporasi untuk Kejahatan HAM Berat: Apa yang Perlu Diketahui Dunia Usaha?

Dunia usaha saat ini menghadapi tantangan baru terkait pertanggungjawaban pidana korporasi, khususnya dalam konteks pelanggaran HAM berat. Dengan diberlakukannya KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023), korporasi kini dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas keterlibatannya dalam kejahatan HAM berat seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Ketika Korporasi Terlibat dalam Kejahatan HAM

Keterlibatan korporasi dalam pelanggaran HAM berat bukanlah isu baru. Dalam artikel Human Rights Violations and Corporate Criminal Liability: An Analysis of the New Indonesian Criminal Law, Mia Amiati, Adhryansah, dan Iman Prihandono menguraikan beberapa kasus penting, termasuk ExxonMobil di Indonesia. Perusahaan tersebut terlibat dalam kasus pelanggaran HAM melalui penggunaan tentara yang melakukan pembunuhan hingga penyiksaan, dengan pembayaran lebih dari US$500.000 kepada TNI untuk melindungi operasi bisnisnya.

Kasus lain yang diungkap dalam artikel tersebut adalah dugaan keterlibatan BUMN produsen senjata Indonesia dalam memasok peralatan ke junta militer Myanmar. Para aktivis bahkan telah mengajukan pengaduan ke Komnas HAM Indonesia pada 2023, menuduh tiga produsen senjata milik negara telah menjual peralatan ke Myanmar sejak kudeta. Meski perusahaan-perusahaan tersebut membantah, kasus ini menunjukkan kompleksitas pertanggungjawaban pidana korporasi dalam konteks pelanggaran HAM berat.

Memahami Bentuk Keterlibatan Korporasi dalam Kejahatan HAM Berat

Amiati, dan kawan-kawan (dkk.) dalam tulisan mereka mengutip laporan International Commission of Jurists yang mengidentifikasi bahwa perusahaan seringkali dengan sengaja memfasilitasi pelanggaran HAM berat. Fasilitasi ini dilakukan dengan memberikan uang, senjata, kendaraan, dan dukungan udara kepada pemerintah atau kelompok bersenjata, sebagai imbalan atas konsesi dan keamanan.

Keterlibatan korporasi dalam kejahatan HAM berat, menurut artikel tersebut, tidak selalu dalam bentuk tindakan langsung. Korporasi dapat terlibat sebagai pihak yang membantu atau mendukung (aiding and abetting). Meski bukan pelaku utama, korporasi tetap dapat dimintai pertanggungjawaban jika terbukti memberikan bantuan yang memiliki dampak substansial pada terjadinya kejahatan.

KUHP Baru: Babak Baru Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP memberikan landasan hukum yang lebih kuat untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi. Amiati, dkk. dalam artikelnya menjelaskan bahwa Pasal 45 ayat (2) KUHP baru mencakup berbagai bentuk korporasi, termasuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, BUMN, BUMD, atau bentuk lain yang dapat dipersamakan dengan itu.

Lebih spesifik, Pasal 46 KUHP baru mendefinisikan “Tindak Pidana oleh Korporasi” sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang memiliki posisi fungsional dalam struktur organisasi korporasi atau mereka yang bertindak atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi. Hubungan ini dapat muncul dari perjanjian kerja atau hubungan lainnya.

Teori Budaya Korporasi: Paradigma Baru dalam Hukum Pidana

Salah satu aspek penting yang dibahas dalam artikel tersebut adalah teori budaya korporasi. Teori ini menyatakan bahwa sebuah korporasi masih dapat dimintai pertanggungjawaban meski secara tidak langsung mengizinkan atau tidak dapat mencegah terjadinya kejahatan.

Fokus teori ini adalah pada kebijakan korporasi, baik eksplisit maupun implisit, yang mempengaruhi operasional perusahaan.

Amiati dkk. menekankan bahwa “budaya korporasi” mengacu pada sikap, kebijakan, aturan, perilaku atau praktik yang tertanam dalam korporasi atau dalam area dimana aktivitas relevan terjadi.

Ini mencerminkan tindakan dan kebijakan perusahaan, bukan pilihan individual, sehingga memperkuat keputusan untuk menuntut korporasi secara keseluruhan daripada hanya individu atau pejabat tertentu.

Peran KUHP Baru dalam Mengatur Pertanggungjawaban Korporasi

Dalam konteks kejahatan HAM berat, KUHP baru memberikan pengaturan yang lebih komprehensif. Amiati dkk. menjelaskan bahwa Pasal 598 dan 599 KUHP baru secara khusus mengatur tentang genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Genosida didefinisikan sebagai kejahatan yang dimaksudkan untuk menghancurkan, seluruh atau sebagian, kelompok bangsa, etnis, ras, keyakinan atau agama. Sementara kejahatan terhadap kemanusiaan didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil.

Tantangan dalam Penerapan Hukum

Meski KUHP baru membuka peluang pertanggungjawaban pidana korporasi untuk kejahatan HAM berat, masih ada beberapa tantangan dalam penerapannya. Amiati dkk. mengungkapkan bahwa UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM hanya memiliki yurisdiksi atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh warga negara Indonesia, tanpa secara eksplisit mencakup korporasi.

Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Amiati dan tim, KUHP baru memberikan solusi melalui Pasal 145 yang menegaskan bahwa unsur “Setiap Orang” mencakup tidak hanya individu tetapi juga korporasi. Hal ini membuka peluang untuk menerapkan Pasal 598 dan 599 terhadap korporasi.

Pembantuan dalam Konteks Kejahatan HAM Berat

KUHP baru, melalui Pasal 21, mengatur tentang pembantuan dalam tindak pidana. Pembantuan dapat terbukti jika terdakwa dengan sengaja: 1) memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak pidana, atau 2) memberikan bantuan saat pelaksanaan tindak pidana.

Amiati dkk. menjelaskan bahwa meski konstruksi kata-kata untuk kriteria actus reus pembantuan dalam hukum pidana Indonesia tidak secara ketat menyebutkan unsur-unsur seperti ‘persetujuan diam-diam dan dorongan’, unsur-unsur tersebut tetap dapat tercakup di dalamnya. “Kesempatan” yang diberikan oleh pembantu dapat ditafsirkan setara dengan persetujuan diam-diam dan dorongan.

Teori Budaya Korporasi sebagai Dasar Pertanggungjawaban

Aspek menarik lain yang dibahas dalam artikel tersebut adalah penerapan teori budaya korporasi. Menurut Amiati dkk., Pasal 48 UU No. 1 Tahun 2023 memberikan setidaknya dua alternatif keadaan yang harus dipertimbangkan dalam proses untuk menetapkan kesalahan korporasi. Pertama, korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.

Kedua, korporasi tidak mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah, mengurangi dampak yang lebih parah, dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang relevan untuk menghindari terjadinya tindak pidana.

Contoh penerapan teori ini, sebagaimana dijelaskan dalam artikel, adalah kasus perusahaan BUMN produsen senjata.

Dalam mendukung budaya korporasi yang memastikan kepatuhan terhadap hukum, sebuah perusahaan BUMN produsen senjata seharusnya tidak membiarkan adanya hubungan bisnis dengan junta militer di Myanmar, dengan mengetahui bahwa pihak tersebut adalah penyebab utama genosida yang sedang berlangsung.

Implikasi Praktis bagi Pelaku Usaha

Berdasarkan analisis dalam artikel tersebut, ada beberapa implikasi penting yang perlu diperhatikan pelaku usaha:

1. Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban tidak hanya untuk tindakan langsung, tetapi juga untuk pembantuan dalam kejahatan HAM berat.

2. Pertanggungjawaban dapat muncul dari tindakan yang dilakukan oleh:

  • Mereka yang memiliki posisi fungsional dalam struktur organisasi korporasi
  • Mereka yang bertindak atas nama korporasi
  • Mereka yang bertindak untuk kepentingan korporasi
  • Pihak di luar struktur korporasi seperti pemberi instruksi, pengendali, atau pemilik manfaat

3. Budaya korporasi menjadi faktor penting dalam menentukan pertanggungjawaban pidana. Korporasi harus aktif menciptakan dan memelihara budaya yang mencegah terjadinya pelanggaran HAM.

Langkah-langkah Preventif yang Perlu Dilakukan Korporasi

Menurut Amiati dkk., korporasi perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah keterlibatan dalam kejahatan HAM berat.

Hal ini terutama penting mengingat KUHP baru memberikan dasar hukum yang lebih kuat untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi.

Beberapa aspek kunci yang perlu diperhatikan:

1. Due Diligence dalam Hubungan Bisnis Korporasi perlu melakukan pemeriksaan mendalam terhadap mitra bisnis, termasuk pemerintah atau kelompok yang menerima bantuan atau dukungan dari korporasi. Ini penting untuk memastikan bahwa bantuan yang diberikan tidak digunakan untuk memfasilitasi kejahatan HAM berat.

2. Pengembangan Sistem Kontrol Internal Sebagaimana diuraikan dalam artikel tersebut, korporasi perlu membangun sistem yang dapat mencegah, mendeteksi, dan merespons potensi keterlibatan dalam pelanggaran HAM berat. Ini termasuk pengembangan kebijakan internal yang jelas dan mekanisme pengawasan yang efektif.

2. Pembentukan Budaya Korporasi yang Mendukung HAM Artikel tersebut menekankan pentingnya budaya korporasi dalam konteks pertanggungjawaban pidana. Korporasi perlu membangun budaya yang secara aktif mencegah pelanggaran HAM, termasuk melalui pelatihan karyawan dan penetapan standar operasional yang jelas.

Tantangan Ke Depan

Amiati dkk. mengidentifikasi beberapa tantangan dalam implementasi ketentuan KUHP baru terkait pertanggungjawaban pidana korporasi untuk kejahatan HAM berat:

1. Kejelasan Sanksi KUHP baru belum memberikan panduan yang jelas tentang sanksi yang tepat untuk korporasi dalam kasus kejahatan HAM berat, karena ketentuan yang ada masih terbatas pada hukuman penjara.

2. Harmonisasi Hukum Perlu ada harmonisasi antara KUHP baru dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, terutama terkait yurisdiksi atas korporasi.

3. Implementasi Praktis Tantangan dalam membuktikan keterlibatan korporasi, terutama dalam kasus pembantuan atau ketika menggunakan teori budaya korporasi sebagai dasar pertanggungjawaban.

Penguatan Mekanisme Pengawasan dan Penegakan Hukum

Dalam pengaturan yang ada, sebagaimana dijelaskan oleh Amiati dkk., mekanisme pengawasan dan penegakan hukum menjadi kunci penting. UU No. 1 Tahun 2023 memang telah memberikan kerangka hukum yang lebih komprehensif, namun implementasinya akan sangat bergantung pada efektivitas sistem pengawasan dan penegakan hukum.

Peran Penegak Hukum

Amiati, dkk. juga menyoroti bahwa implementasi efektif dari ketentuan-ketentuan ini bergantung pada Kejaksaan dan penilaian Hakim.

Para penegak hukum harus memahami sifat internasional dari kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Ini menjadi penting mengingat kompleksitas kasus yang melibatkan korporasi dalam kejahatan HAM berat.

Standar Pembuktian

Dalam konteks pembuktian, artikel tersebut menguraikan beberapa elemen penting:

1. Pembuktian Keterlibatan Langsung Ketika korporasi terlibat langsung dalam kejahatan HAM berat, pembuktian harus menunjukkan bahwa tindakan tersebut:

  • Merupakan bagian dari operasi bisnis
  • Memberikan keuntungan bagi korporasi
  • Diterima sebagai kebijakan korporasi

2. Pembuktian Pembantuan Dalam kasus pembantuan, harus dibuktikan bahwa korporasi:

  • Dengan sengaja memberikan bantuan
  • Mengetahui bahwa bantuannya akan memfasilitasi kejahatan
  • Bantuan tersebut memiliki dampak substansial pada pelaksanaan kejahatan

Peran Stakeholders

Berbagai pemangku kepentingan memiliki peran penting dalam memastikan efektivitas implementasi ketentuan ini:

  1. Regulator Perlu menyusun peraturan pelaksana yang lebih detail untuk memberikan panduan praktis bagi aparat penegak hukum dan pelaku usaha.
  2. Korporasi Harus proaktif dalam membangun sistem pencegahan dan pengawasan internal yang efektif.
  3. Masyarakat Sipil Berperan dalam pengawasan dan pelaporan potensi pelanggaran.

Perbandingan dengan Standar Internasional

Dalam artikel tersebut, Amiati dkk. juga membahas bagaimana standar internasional dapat menjadi referensi penting. Statuta Roma dari Pengadilan Pidana Internasional (ICC), misalnya, mengatur tentang pembantuan dalam Pasal 25(3)(c), yang menekankan yurisdiksi pengadilan untuk meminta pertanggungjawaban pidana individu yang memfasilitasi kejahatan melalui pembantuan atau bentuk bantuan lainnya.

Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY) memberikan panduan komprehensif dalam menguraikan elemen pembantuan. Dalam kasus Radoslav Brdanin, Pengadilan menegaskan bahwa seseorang dapat dihukum karena pembantuan jika terbukti bahwa tindakannya merupakan “persetujuan diam-diam dan dorongan terhadap kejahatan dan bahwa tindakan tersebut berkontribusi secara substansial terhadap kejahatan.”

Pembelajaran dari Kasus-kasus Terdahulu

Amiati, dkk. mengilustrasikan beberapa kasus yang memberikan pelajaran berharga:

  1. Kasus Lundin Energy Perusahaan Swedia ini menghadapi tuduhan keterlibatan dalam kejahatan perang di Sudan terkait perjanjian yang dibuat dengan Pemerintah Sudan pada 1997. Kasus ini menunjukkan bagaimana permintaan korporasi untuk pengamanan zona eksplorasi dapat berujung pada keterlibatan dalam kejahatan HAM berat.
  2. Kasus Lima Holding BV Pada 2009-2010, perusahaan ini dibawa ke pengadilan atas dugaan keterlibatan dalam kejahatan perang di Israel dengan menyediakan mesin dan jasa yang memfasilitasi pembangunan tembok aneksasi dan pemukiman Israel di Wilayah Palestina yang Diduduki.

Konteks Indonesia dan Tantangan ke Depan

KUHP baru Indonesia membawa perubahan signifikan dalam konteks pertanggungjawaban pidana korporasi. Namun, sebagaimana diuraikan Amiati dkk., masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi:

  1. Kejelasan Mekanisme Perlu ada kejelasan tentang mekanisme penuntutan dan pembuktian, terutama dalam kasus yang melibatkan pembantuan atau budaya korporasi.
  2. Kapasitas Penegak Hukum Diperlukan peningkatan kapasitas penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kompleks yang melibatkan korporasi dan kejahatan HAM berat.
  3. Koordinasi Antar Lembaga Perlu ada koordinasi yang efektif antara berbagai lembaga penegak hukum dan institusi terkait lainnya.

Rekomendasi untuk Pelaku Usaha

Berdasarkan analisis mendalam Amiati dkk., ada beberapa rekomendasi praktis yang perlu diperhatikan pelaku usaha untuk mencegah keterlibatan dalam kejahatan HAM berat:

1. Sistem Manajemen Risiko HAM Korporasi perlu mengembangkan dan mengimplementasikan sistem manajemen risiko yang khusus memperhatikan aspek HAM dalam setiap operasi bisnisnya. Hal ini termasuk pemetaan risiko dan pengembangan prosedur mitigasi yang sesuai.

2. Penguatan Tata Kelola Perusahaan Sesuai dengan teori budaya korporasi yang dibahas dalam artikel tersebut, perusahaan perlu memastikan bahwa tata kelola perusahaannya mendukung pencegahan pelanggaran HAM. Ini mencakup:

  • Pengembangan kebijakan dan prosedur yang jelas
  • Penetapan mekanisme pengawasan internal
  • Pembentukan sistem pelaporan pelanggaran
  • Pelatihan dan edukasi karyawan secara berkala

3. Evaluasi Mitra Bisnis Perusahaan perlu melakukan evaluasi mendalam terhadap mitra bisnis potensial, terutama dalam konteks:

  • Rekam jejak HAM mitra bisnis
  • Risiko keterlibatan dalam konflik atau pelanggaran HAM
  • Potensi penyalahgunaan produk atau jasa perusahaan

4. Dokumentasi dan Pelaporan Pentingnya memelihara dokumentasi yang baik terkait:

  • Proses pengambilan keputusan bisnis
  • Langkah-langkah due diligence yang telah dilakukan
  • Tindakan mitigasi risiko yang diambil
  • Respons terhadap indikasi pelanggaran

5. Pengembangan Mekanisme Pemulihan Perusahaan perlu mengembangkan mekanisme untuk:

  • Mendeteksi dini potensi pelanggaran
  • Menghentikan kegiatan yang berpotensi melanggar HAM
  • Memberikan pemulihan jika terjadi dampak negatif

Peran Korporasi dalam Pencegahan Kejahatan HAM Berat

Amiati dkk. juga menekankan pentingnya peran proaktif korporasi dalam mencegah keterlibatan dalam kejahatan HAM berat. Pencegahan ini menjadi semakin krusial mengingat kompleksitas operasi bisnis modern dan potensi dampaknya terhadap HAM.

Langkah-langkah Pencegahan Strategis

1. Pengembangan Kebijakan Internal Perusahaan perlu mengembangkan kebijakan internal yang komprehensif mencakup:

  • Komitmen terhadap penghormatan HAM
  • Prosedur operasional yang jelas dalam situasi berisiko tinggi
  • Mekanisme pengawasan dan evaluasi berkala

2. Penguatan Kapasitas Internal Penting untuk memastikan bahwa semua level organisasi memahami:

  • Risiko keterlibatan dalam kejahatan HAM berat
  • Tanggung jawab masing-masing pihak
  • Prosedur pelaporan dan penanganan masalah

3. Pengawasan Rantai Pasok Perusahaan perlu memastikan bahwa rantai pasoknya bebas dari risiko keterlibatan dalam kejahatan HAM berat melalui:

  • Audit berkala terhadap pemasok
  • Klausul kontrak yang tegas terkait HAM
  • Sistem pelacakan dan verifikasi

Membangun Budaya Korporasi yang Mendukung HAM

Sesuai dengan teori budaya korporasi yang dibahas dalam artikel tersebut, perusahaan perlu membangun budaya yang secara aktif mencegah pelanggaran HAM. Ini meliputi:

1. Kepemimpinan yang Bertanggung Jawab

  • Komitmen jelas dari manajemen puncak
  • Integrasi pertimbangan HAM dalam pengambilan keputusan
  • Alokasi sumber daya yang memadai untuk program HAM

2. Sistem Manajemen yang Efektif

  • Prosedur operasional yang jelas
  • Mekanisme pengawasan yang kuat
  • Sistem pelaporan yang transparan

Tantangan dalam Implementasi

Amiati dkk. mengidentifikasi beberapa tantangan kunci dalam implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi untuk kejahatan HAM berat:

1. Kompleksitas Pembuktian Tantangan utama terletak pada pembuktian keterlibatan korporasi, terutama dalam kasus:

  • Pembantuan tidak langsung
  • Pengaruh budaya korporasi terhadap kejahatan
  • Hubungan kausal antara tindakan korporasi dan kejahatan

2. Penegakan Hukum Beberapa kendala dalam penegakan hukum meliputi:

  • Keterbatasan kapasitas penegak hukum dalam menangani kasus kompleks
  • Kebutuhan akan koordinasi antar lembaga
  • Tantangan dalam pengumpulan bukti lintas yurisdiksi

3. Harmonisasi Hukum Masih diperlukan harmonisasi antara berbagai instrumen hukum, termasuk:

  • KUHP baru dengan UU Pengadilan HAM
  • Peraturan sektoral terkait
  • Standar internasional

Peluang Pengembangan Hukum

Artikel tersebut juga mengidentifikasi beberapa area yang memerlukan pengembangan lebih lanjut:

1. Panduan Teknis Diperlukan panduan teknis yang lebih detail tentang:

  • Penerapan teori budaya korporasi
  • Standar pembuktian dalam kasus pembantuan
  • Mekanisme penentuan sanksi yang tepat

2. Penguatan Kapasitas Perlu ada program penguatan kapasitas untuk:

  • Penegak hukum
  • Pelaku usaha
  • Pemangku kepentingan lainnya

Aspek Pencegahan dan Mitigasi Risiko

Amiati dkk. menekankan pentingnya aspek pencegahan dan mitigasi risiko bagi korporasi. Ini menjadi semakin relevan mengingat konsekuensi serius yang dapat dihadapi korporasi jika terlibat dalam kejahatan HAM berat.

Strategi Mitigasi Risiko

1. Penilaian Risiko Komprehensif Korporasi perlu melakukan penilaian risiko yang mencakup:

  • Konteks operasional bisnis
  • Potensi dampak terhadap HAM
  • Risiko keterlibatan dengan pihak yang berpotensi melakukan pelanggaran HAM

2. Sistem Peringatan Dini Pengembangan sistem yang dapat:

  • Mendeteksi potensi pelanggaran sejak awal
  • Memberikan alert untuk tindakan yang mencurigakan
  • Memfasilitasi respons cepat terhadap indikasi pelanggaran

3. Mekanisme Pengawasan Pembentukan mekanisme pengawasan yang efektif melalui:

  • Audit internal dan eksternal
  • Pemantauan berkala
  • Evaluasi sistem dan prosedur

Pentingnya Dokumentasi dan Transparansi

Sebagaimana dibahas dalam artikel tersebut, dokumentasi yang baik menjadi krusial untuk:

  • Membuktikan langkah-langkah pencegahan yang telah diambil
  • Menunjukkan keseriusan korporasi dalam mencegah pelanggaran HAM
  • Memberikan bukti dalam hal terjadi penyelidikan

Peran Pemangku Kepentingan

Berbagai pemangku kepentingan memiliki peran penting dalam mendukung implementasi efektif:

1. Regulator:

  • Menyusun panduan teknis
  • Melakukan pengawasan
  • Memberikan klarifikasi atas isu-isu hukum

2. Asosiasi Bisnis:

  • Berbagi praktik terbaik
  • Mengembangkan standar industri
  • Memberikan dukungan kepada anggota

3. Masyarakat Sipil:

  • Melakukan pemantauan independen
  • Memberikan masukan konstruktif
  • Mendorong akuntabilitas korporasi

Tantangan Praktis dan Solusi

Dalam konteks implementasi KUHP baru, Amiati dkk. mengidentifikasi beberapa tantangan praktis yang perlu diatasi:

Pembangunan Kapasitas Institusional

1. Peningkatan Pemahaman

  • Pelatihan untuk penegak hukum tentang konsep pertanggungjawaban pidana korporasi
  • Edukasi untuk pelaku usaha tentang implikasi hukum
  • Pengembangan panduan praktis untuk implementasi

2. Infrastruktur Pendukung

  • Pengembangan sistem database untuk dokumentasi kasus
  • Pembentukan unit khusus untuk menangani kasus korporasi
  • Penguatan mekanisme koordinasi antar lembaga

Aspek Teknis Implementasi

1. Standar Operasional Perlu dikembangkan standar operasional yang jelas untuk:

  • Proses investigasi kasus korporasi
  • Mekanisme pembuktian
  • Prosedur penuntutan

2. Mekanisme Sanksi Pengembangan panduan untuk:

  • Penentuan jenis sanksi yang sesuai
  • Perhitungan dampak ekonomi
  • Implementasi sanksi non-pidana

3. Sistem Monitoring Pembentukan sistem untuk:

  • Memantau kepatuhan korporasi
  • Mengevaluasi efektivitas sanksi
  • Mengukur dampak pencegahan

Dengan adanya KUHP baru, sebagaimana dijelaskan Amiati dkk. dalam tulisannya, Indonesia telah mengambil langkah signifikan dalam mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi untuk kejahatan HAM berat. Namun, keberhasilan implementasinya akan sangat bergantung pada kesiapan semua pemangku kepentingan dan pengembangan infrastruktur pendukung yang memadai.

Pragma Integra
Pragma Integra is a law firm that combines deep expertise in taxation, corporate and business law, and business development.

Leave A Comment

Integrated Legal & Business Solutions

Have Tax and Business Problems? Let's Solve Them Together

From complex tax disputes to critical corporate decisions, Pragma Integra is here to guide you with trusted expertise and strategic solutions.