Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% untuk tahun 2025. Mengutip Antaranews.com dalam artikel berjudul Wamenaker yakini kenaikan UMP Jakarta tak akan bebani perusahaan, Kamis (12/12/2024), kenaikan upah minimum ini akan berlaku secara merata di seluruh provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025, yang telah resmi diundangkan pada Rabu (4/12/2024).
Kebijakan ini tentu memunculkan pertanyaan penting: Apakah seluruh perusahaan wajib mematuhi peraturan kenaikan UMP 6,5% tersebut? Seperti kita ketahui, kenaikan UMP setiap tahunnya sering menjadi kekhawatiran bagi para pengusaha, terutama bagi perusahaan yang masih dalam tahap berkembang.
Merujuk pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, Upah Minimum ditetapkan sebagai jaring pengaman agar pekerja dapat hidup layak. Konsekuensi hukumnya jelas: pengusaha wajib membayar gaji sesuai UMP, dan pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai sanksi.
Meski demikian, undang-undang juga memberikan kelonggaran bagi pengusaha yang belum mampu memenuhi ketentuan UMP. Pasal 90 B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 memberikan pengecualian bagi usaha mikro dan kecil. Selain itu, perusahaan dapat mengajukan penangguhan kepada pemerintah dengan dua syarat utama: pertama, perusahaan harus membuktikan kesulitan keuangan melalui laporan keuangan yang diaudit akuntan publik, dan kedua, harus ada kesepakatan dengan pekerja.
Proses penangguhan UMP ini memiliki prosedur yang ketat. Permohonan harus diajukan 10 hari sebelum UMP mulai berlaku, sesuai Pasal 3 ayat (1) Kepmenakertrans No. Kep-231/Men/2003. Hasil penangguhan dapat berupa tiga kemungkinan: perusahaan membayar sesuai UMP sebelumnya, membayar lebih tinggi dari UMP sebelumnya namun lebih rendah dari UMP baru, atau menaikkan UMP secara bertahap.
Menurut Indrasari Tjandraningsih, Peneliti Pusat Analisis Sosial AKATIGA, upah minimum merupakan kebijakan publik yang mengikat dan wajib dilaksanakan tanpa terkecuali, sebagaimana dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Secara filosofis, kebijakan ini bertujuan melindungi pekerja dari upah yang terlalu rendah dan mencegah eksploitasi tenaga kerja di tengah kondisi pasar dengan ketersediaan tenaga kerja yang berlebih.
Penting untuk dipahami bahwa hukum ketenagakerjaan dirancang untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak – pemberi kerja, pekerja/buruh, dan kondisi perekonomian nasional. Hal ini tercermin dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menekankan perlindungan hak-hak dasar pekerja dan kesamaan kesempatan, sambil tetap memperhatikan perkembangan dunia usaha.
Penetapan kenaikan UMP sendiri memiliki dasar perhitungan yang komprehensif. Sesuai Pasal 88 D ayat 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan tiga variabel utama: pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Dengan demikian, UMP merupakan hasil kajian mendalam pemerintah bersama instansi terkait untuk menetapkan standar pengupahan yang seimbang, termasuk mempertimbangkan kemampuan pengusaha melalui mekanisme penangguhan pembayaran upah.