Sistem perpajakan yang adil merupakan fondasi penting bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial suatu negara. Namun, penelitian terbaru yang dilakukan oleh Muhamad Indrawan Yudha Prawira, Leo Frans, dan Rezki Destiana dari Direktorat Jenderal Pajak mengungkapkan adanya ketimpangan serius dalam sistem perpajakan Indonesia, khususnya terkait pengenaan pajak penghasilan final.
Dalam artikel Final Tax Regression yang dipublikasikan di Scientax: Jurnal Kajian Ilmiah Perpajakan Indonesia (2024), para peneliti menemukan bahwa sistem pajak final justru menciptakan ketidakadilan, di mana wajib pajak dengan penghasilan tinggi bisa membayar pajak dengan tarif efektif yang lebih rendah dibandingkan wajib pajak berpenghasilan menengah.
Memahami Sistem Pajak Penghasilan di Indonesia
Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Indonesia pada dasarnya menganut sistem progresif, dengan tarif yang meningkat seiring bertambahnya penghasilan wajib pajak. Berdasarkan UU PPh, tarif pajak penghasilan orang pribadi di Indonesia berkisar antara 5% hingga 30%. Bahkan, melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif tertinggi telah dinaikkan menjadi 35%.
Sistem progresif ini awalnya dirancang untuk menciptakan keadilan vertikal dalam perpajakan, di mana mereka yang memiliki kemampuan membayar lebih tinggi akan menanggung beban pajak yang lebih besar. Namun, realitanya berbeda.
Prawira dkk. dalam penelitiannya menjelaskan bahwa parallel dengan sistem pajak progresif ini, terdapat sistem pajak final yang menerapkan tarif tetap untuk jenis penghasilan tertentu. Misalnya:
- Tarif 0-1% untuk UMKM dan transaksi saham
- Tarif 1-5% untuk transaksi derivatif dan konstruksi
- Tarif 5-10% untuk sewa, dividen, dan bunga koperasi
- Tarif 10-20% untuk deposito dan diskonto SBI
Problematika Pajak Final
Sistem pajak final awalnya diperkenalkan untuk menyederhanakan administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Seperti dijelaskan oleh Kristiaji dan Awwaliatul dalam penelitian mereka tahun 2020, pajak final merupakan salah satu solusi untuk menerapkan presumptive tax atau metode penghitungan pajak dengan estimasi tidak langsung.
Namun, penelitian Bucci (2020) yang dikutip dalam artikel tersebut mengungkapkan bahwa sistem pajak presumptif yang terlalu preferensial dapat mendistorsi perilaku ekonomi.
Wajib pajak cenderung mengubah aktivitas atau pelaporan penghasilan mereka untuk meminimalkan beban pajak, bukan untuk meningkatkan efisiensi.
Dampak Regresivitas Pajak Final
Analisis data yang dilakukan oleh tim peneliti mengungkapkan beberapa temuan mengkhawatirkan:
- Ketimpangan Tarif Efektif Data SPT Tahunan 2020 menunjukkan bahwa rata-rata Effective Tax Rate (ETR) untuk penghasilan final adalah 5,2%, sementara untuk penghasilan non-final mencapai 4,03%. Namun, yang menarik adalah pola distribusinya.
- Pola Regresif Untuk wajib pajak pada persentil teratas (tiga persentil tertinggi), ETR justru lebih rendah dibandingkan beberapa persentil di bawahnya. Ini menunjukkan bahwa sistem perpajakan justru bersifat regresif untuk kelompok wajib pajak terkaya.
Temuan
Hasil penelitian Prawira dkk. mengungkapkan beberapa pola menarik dalam struktur penghasilan wajib pajak. Mulai dari persentil ke-79 ke atas, kepemilikan penghasilan final terus meningkat. Bahkan pada persentil ke-99 dan ke-100, penghasilan final mereka melebihi penghasilan non-final.
Yang lebih mengkhawatirkan, ketika dibandingkan dengan ETR pada kelompok tersebut, terlihat adanya penurunan. Peran pajak final sangat lemah dalam meningkatkan jumlah total ETR.
Pola ini konsisten selama tiga tahun berturut-turut (2018-2020), menunjukkan bahwa sifat regresif perpajakan final untuk kelas atas (terutama tiga persentil tertinggi) bukan fenomena sementara.
Analisis Ketimpangan pada Wajib Pajak Kaya
Berdasarkan survei Forbes tahun 2021 yang dikutip dalam penelitian, 50 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan bersih atau aset bersih sekitar Rp 9,45 triliun hingga Rp 610,89 triliun.
Sebagai wajib pajak dengan penghasilan tertinggi di antara populasi wajib pajak orang pribadi, seharusnya mereka juga membayar pajak dengan tarif tertinggi.
Namun, analisis terhadap struktur penghasilan mereka mengungkapkan:
- Dominasi Penghasilan Final Pada persentil ke-100, penghasilan dari penjualan saham menjadi sumber utama kekayaan mereka. Penghasilan ini dikenakan pajak final dengan tarif yang relatif rendah.
- Komposisi Penghasilan Lain Penelitian juga menemukan adanya komposisi penghasilan final bruto lainnya yang konsisten di semua lapisan persentil. Ini awalnya digunakan untuk pelaporan UMKM, yang memerlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan kebenaran dan kejujuran pelaporannya.
Administrasi Pajak untuk Wajib Pajak Kaya
Saat ini, wajib pajak orang pribadi dengan penghasilan tertentu diawasi oleh tiga jenis KPP:
- KPP Wajib Pajak Besar (Large Taxpayers Office)
- KPP Madya (Medium Taxpayers Office)
- KPP Badan dan Orang Asing (Entity and Foreign Individual Tax Office)
Data agregat untuk ketiga jenis KPP pada tahun 2020 menunjukkan bahwa, kecuali KPP Badora, struktur penghasilan wajib pajak orang pribadi umumnya didominasi oleh penghasilan yang dikenakan tarif final. Sementara itu, struktur PPh WP OP di KPP tersebut umumnya ditopang oleh PPh non-final.
ETR wajib pajak orang pribadi di KPP Badora, HWI, dan Madya masing-masing adalah 24,8%, 11%, dan 9,5%. Angka ini jauh lebih rendah dari tarif PPh Pasal 17 tertinggi tahun 2020 yang mencapai 30%.
Kesenjangan ini muncul karena tarif pajak final, terutama yang diterapkan pada sumber penghasilan selain deposito, umumnya lebih rendah dari tarif dalam rezim pajak standar.
Solusi dan Rekomendasi Kebijakan
Para peneliti mengusulkan dua pendekatan untuk secara bertahap menghapus sistem perpajakan final, khususnya untuk wajib pajak orang pribadi:
- Pendekatan Pertama: Penyesuaian Tarif Menyamakan tarif Pajak Penghasilan Final dengan nilai ETR wajib pajak yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan untuk Tahun Pajak sebelumnya (n-1). Misalnya, jika pada tahun 2020 seseorang melaporkan penghasilannya dengan rasio “PPh:Penghasilan Neto” alias ETR sebesar 17%, maka setiap penghasilan final yang diterimanya pada tahun 2021 dikenakan Pajak Penghasilan Final setara dengan penghasilan non-finalnya, yaitu 17%.
- Pendekatan Kedua: Anualisasi Penghasilan Jika pendekatan pertama telah berjalan dengan baik, langkah selanjutnya adalah menganualisasi setiap penghasilan yang diterima, baik final maupun non-final. Metode ini akan mengenakan pajak kepada setiap orang sesuai dengan penghasilannya selama setahun. Tidak ada lagi kesenjangan antara penghasilan pasif dan aktif.
Implikasi bagi Berbagai Pemangku Kepentingan
1. Bagi Pelaku Usaha
Temuan penelitian ini memiliki implikasi signifikan bagi pelaku usaha. Bastani dan Waldenstrom (2020) dalam penelitian mereka yang dikutip Prawira dkk. dalam penelitiannya, menyatakan bahwa meskipun model tradisional cenderung mengabaikan peran pajak modal, perspektif terbaru menunjukkan bahwa pengenaan pajak atas modal dapat mendorong kesetaraan dan efisiensi.
Pelaku usaha perlu mempertimbangkan:
- Perencanaan pajak yang lebih adil dan transparan
- Penyesuaian struktur bisnis untuk mengantisipasi perubahan kebijakan
- Persiapan sistem administrasi yang lebih baik untuk pelaporan pajak
- Evaluasi strategi investasi jangka panjang
2. Bagi Masyarakat Umum
Masyarakat umum, terutama wajib pajak orang pribadi, perlu memahami:
- Pentingnya transparansi dalam pelaporan penghasilan
- Dampak sistem pajak terhadap kesenjangan sosial
- Hak dan kewajiban perpajakan
- Pentingnya partisipasi dalam pengawasan kebijakan perpajakan
3. Bagi Praktisi Hukum
Para praktisi hukum perlu memperhatikan:
- Perkembangan regulasi perpajakan
- Potensi perubahan kebijakan pajak final
- Implikasi hukum dari reformasi perpajakan
- Aspek keadilan dalam sistem perpajakan
4. Bagi Akademisi
Komunitas akademik dapat berkontribusi melalui:
- Penelitian lanjutan tentang dampak pajak final
- Pengembangan model perpajakan yang lebih adil
- Studi komparatif dengan sistem perpajakan negara lain
- Evaluasi efektivitas kebijakan perpajakan
Tantangan Implementasi
Implementasi rekomendasi yang diusulkan menghadapi beberapa tantangan:
1. Tantangan Teknologi
Seperti dijelaskan dalam penelitian, untuk merealisasikan metode anualisasi penghasilan diperlukan:
- Kesiapan teknologi
- Penegakan hukum yang transparan
- Sistem pencatatan yang rapi dan detail
- Pelaporan pihak ketiga yang komprehensif
2. Tantangan Administratif
Fungsi Account Representative (AR) sebagaimana diatur dalam PMK 45/2021 menjadi sangat vital. AR harus mampu:
- Mengawasi wajib pajak secara menyeluruh
- Mendeteksi transaksi fisik maupun digital
- Memverifikasi kebenaran pelaporan
- Memberikan edukasi kepada wajib pajak
3. Tantangan Sosial-Ekonomi
Perubahan sistem perpajakan juga harus mempertimbangkan:
- Dampak terhadap iklim investasi
- Potensi resistensi dari kelompok kepentingan
- Kondisi ekonomi makro
- Kesenjangan sosial yang ada
Arah Kebijakan Masa Depan
Berdasarkan temuan penelitian dan analisis yang dilakukan, beberapa arah kebijakan yang perlu dipertimbangkan:
1. Reformasi Bertahap
- Evaluasi berkala sistem pajak final
- Penyesuaian tarif secara gradual
- Penguatan sistem administrasi perpajakan
- Peningkatan kapasitas otoritas pajak
2. Penguatan Pengawasan
- Peningkatan peran Account Representative
- Pengembangan sistem informasi terintegrasi
- Penguatan kerja sama antar lembaga
- Peningkatan transparansi pelaporan
3. Edukasi dan Sosialisasi
- Program edukasi wajib pajak
- Sosialisasi perubahan kebijakan
- Peningkatan kesadaran pajak
- Pembangunan budaya kepatuhan pajak
Penelitian Prawira dkk. ini menjadi momentum penting untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem perpajakan Indonesia.
Temuan tentang regresivitas pajak final menunjukkan perlunya reformasi komprehensif untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan efektif.
Kesimpulan
Sistem pajak final yang saat ini berlaku di Indonesia terbukti menciptakan ketidakadilan perpajakan, terutama karena sifatnya yang regresif pada kelompok wajib pajak berpenghasilan tinggi.
Reformasi sistem perpajakan menjadi kebutuhan mendesak untuk menciptakan keadilan vertikal dan horizontal dalam perpajakan Indonesia.
Rekomendasi untuk menerapkan sistem yang lebih dinamis dan progresif, serta anualisasi penghasilan, memberikan harapan untuk perbaikan sistem perpajakan di masa depan.
Namun, keberhasilan reformasi ini akan sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur, komitmen politik, dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan.