Di era ekonomi global yang semakin terkoneksi, perpindahan individu, aset, dan struktur bisnis melintasi batas negara telah menjadi fenomena yang lazim. Namun, di balik dinamika ini tersembunyi potensi kehilangan pendapatan pajak yang signifikan bagi negara asal.
Indonesia, sebagai salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara, tidak luput dari tantangan ini.
Menurut The Henley Global Citizens Report (2022), Indonesia termasuk dalam 10 besar negara yang mengalami arus keluar High Net Worth Individuals (HNWI) terbanyak, dengan estimasi 600 individu meninggalkan negara ini.
Angka ini tentu mengkhawatirkan mengingat potensi pajak yang ikut ‘berpindah’ bersama mereka.
Memahami Exit Tax
Apa itu Exit Tax?
Exit tax, atau pajak keluar, adalah instrumen pajak yang dikenakan ketika seseorang atau entitas bisnis mengubah status residensi pajaknya dari satu negara ke negara lain, atau ketika terjadi transfer aset lintas batas.
Exit tax berfungsi sebagai mekanisme perlindungan basis pajak negara terhadap potensi penghindaran pajak atas keuntungan modal yang belum direalisasi.
Mengapa Exit Tax Penting?
Exit tax menjadi penting karena beberapa alasan:
- Perlindungan Basis Pajak Exit tax memastikan bahwa negara tidak kehilangan hak pajaknya atas keuntungan yang timbul selama wajib pajak menjadi residen.
- Pencegahan Penghindaran Pajak Instrumen ini mencegah perpindahan residensi pajak yang termotivasi semata-mata untuk menghindari pajak.
- Keadilan Pajak Exit tax menjamin kesetaraan perlakuan antara wajib pajak yang tetap tinggal dan yang meninggalkan negara.
Exit Tax dalam Konteks Perubahan Residensi Pajak
Siapa yang Terdampak?
Dalam konteks perubahan residensi pajak, mengutip laporan penelitian Septian Fachrizal dkk. yang berjudul “Exit Tax Adoption to Protect Indonesia’s Tax Base: Are We Ready?, exit tax tidak serta merta berlaku untuk semua orang yang berpindah negara. Berdasarkan praktik internasional, pengenaan exit tax perlu mempertimbangkan beberapa faktor:
- Durasi Residensi Mengacu pada praktik di Kanada dan Australia, exit tax umumnya tidak dikenakan pada residensi jangka pendek (kurang dari 5 tahun).
- Nilai Kekayaan Amerika Serikat, misalnya, menerapkan ambang batas tertentu terkait pendapatan tahunan dan kekayaan bersih.
- Kepatuhan Hukum Faktor kepatuhan formal dan material juga menjadi pertimbangan dalam pengenaan exit tax.
Bagaimana Cara Menghitungnya?
Exit tax menggunakan pendekatan mark-to-market, di mana aset dianggap terjual pada nilai pasar wajar saat perpindahan residensi. Keuntungan yang belum direalisasi dihitung sebagai selisih antara nilai pasar wajar pada saat perpindahan dengan nilai perolehan historis aset.
Dalam praktiknya, penghitungan exit tax memerlukan penilaian yang akurat terhadap nilai wajar aset.
Di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki sumber daya berupa Pejabat Penilai yang dapat diandalkan untuk melakukan penilaian aset.
Peran ini telah berjalan sejak 2015 melalui Surat Edaran DJP Nomor SE-61/PJ/2015 yang kemudian diperbarui dengan SE-05/PJ/2020.
Wajib pajak dapat memilih antara pembayaran langsung atau penangguhan sampai aset benar-benar dijual. Pilihan penangguhan ini memberikan fleksibilitas bagi wajib pajak untuk mengelola arus kas mereka, meskipun tetap harus memperhatikan bahwa nilai pajak yang akan dibayar nantinya adalah berdasarkan nilai wajar saat perpindahan residensi.
Exit Tax dalam Restrukturisasi Bisnis
Restrukturisasi bisnis merupakan langkah strategis yang umum dilakukan perusahaan untuk meningkatkan daya saing dan nilai usaha. Namun, proses ini dapat membawa implikasi pajak yang signifikan, terutama ketika melibatkan perpindahan aset atau fungsi bisnis ke luar negeri.
Dalam konteks restrukturisasi bisnis, exit tax memiliki kaitan erat dengan prinsip transfer pricing. Ada tiga aspek utama yang perlu diperhatikan dalam pengenaan exit tax pada restrukturisasi bisnis: realokasi potensi laba, transfer sesuatu yang bernilai, dan pengakhiran perjanjian yang ada.
Realokasi potensi laba terjadi ketika suatu entitas mengubah profil fungsi dan risikonya. Sebagai contoh, ketika sebuah distributor penuh (fully-fledged distributor) direstrukturisasi menjadi distributor berisiko terbatas atau agen penjualan dari prinsipal luar negeri.
Dalam kasus ini, kompensasi mungkin diperlukan untuk entitas yang melepaskan potensi labanya.
Transfer sesuatu yang bernilai dapat mencakup aset berwujud, aset tidak berwujud, atau hak atas aset tersebut. Yang menarik, transfer ini juga meliputi aktivitas bisnis yang dikenal sebagai “ongoing concern” – unit bisnis yang terintegrasi secara ekonomi dan mampu beroperasi secara mandiri.
Pengakhiran perjanjian existing juga dapat memicu exit tax jika mengakibatkan kerugian bagi pihak yang direstrukturisasi. Kerugian ini bisa berupa biaya restrukturisasi, biaya konversi, atau hilangnya potensi laba.
Untuk Indonesia, para peneliti mengusulkan agar exit tax dalam konteks restrukturisasi bisnis diterapkan pada perseroan terbatas dan bentuk usaha tetapnya.
Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa restrukturisasi bisnis umumnya terjadi pada entitas yang padat modal atau memiliki fungsi yang beragam.
Tantangan Implementasi dan Solusi
Penerapan exit tax menghadapi beberapa tantangan yang perlu diantisipasi. Tantangan utama adalah potensi pajak berganda internasional.
Situasi ini dapat terjadi ketika negara tujuan tidak mengakui nilai wajar yang digunakan sebagai dasar exit tax di Indonesia, sehingga ketika aset dijual, keuntungan yang sama dapat dikenakan pajak dua kali.
Untuk mengatasi masalah ini, terdapat dua pendekatan yang dapat dipertimbangkan. Pertama, pemberian step-up value di negara tujuan, di mana nilai aset diakui sebesar nilai wajarnya saat perpindahan residensi.
Kedua, penerapan metode kredit pajak terbalik (reverse credit method), di mana Indonesia memberikan kredit untuk pajak yang dibayar di negara tujuan atas bagian keuntungan yang telah dikenakan exit tax.
Harmonisasi dengan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) juga menjadi isu penting dalam penerapan exit tax. Muncul pertanyaan apakah pengenaan pajak atas keuntungan yang belum direalisasi sejalan dengan konsep alienation (pengalihan) dalam P3B.
Namun, Komite Pajak OECD telah memberikan panduan bahwa istilah alienation tidak terbatas pada penjualan atau pertukaran properti secara aktual.
Rekomendasi Kebijakan untuk Indonesia
Mengingat kompleksitas penerapan exit tax, Indonesia perlu mengembangkan kerangka hukum yang komprehensif namun tetap praktis dalam implementasinya. Beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan:
Integrasi dengan Sistem yang Ada
Indonesia dapat memanfaatkan infrastruktur legal yang telah ada untuk menerapkan exit tax.
Ketentuan transfer pricing dalam Pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksananya dapat menjadi landasan hukum untuk exit tax dalam konteks restrukturisasi bisnis.
Penguatan Kapasitas Institusional
Direktorat Jenderal Pajak perlu memperkuat kapasitas Pejabat Penilai untuk menentukan nilai wajar aset.
Hal ini krusial mengingat akurasi penilaian akan mempengaruhi keadilan pengenaan exit tax dan potensi sengketa di kemudian hari.
Sistem Manajemen Risiko
Penerapan Compliance Risk Management (CRM) dalam menentukan subjek exit tax dapat membantu otoritas pajak fokus pada kasus-kasus yang berisiko tinggi.
Pendekatan berbasis risiko ini juga sejalan dengan prinsip efisiensi administrasi perpajakan.
Prosedur yang Jelas
Indonesia perlu mengembangkan prosedur yang jelas untuk permohonan penangguhan pembayaran exit tax dan pemberian kredit pajak terbalik.
Prosedur ini harus mempertimbangkan kepentingan negara untuk mengamankan penerimaan pajak dan kebutuhan wajib pajak akan kepastian hukum.
Dampak bagi Pelaku Usaha dan Masyarakat
Penerapan exit tax akan membawa implikasi signifikan bagi berbagai pemangku kepentingan. Bagi pelaku usaha, terutama perusahaan multinasional, keberadaan exit tax akan mempengaruhi perencanaan restrukturisasi bisnis mereka.
Dokumentasi yang lebih komprehensif dan pertimbangan pajak yang lebih matang akan diperlukan sebelum melakukan perubahan struktur bisnis lintas batas.
Bagi individu kaya (HNWI), exit tax akan mempengaruhi keputusan perpindahan residensi pajak mereka.
Meskipun tidak menghalangi mobilitas internasional, instrumen ini mendorong transparansi yang lebih besar dalam perpindahan aset dan perencanaan pajak.
Kesimpulan
Exit tax merupakan instrumen yang diperlukan untuk melindungi basis pajak Indonesia di era mobilitas global.
Meskipun implementasinya menghadapi berbagai tantangan, pengalaman internasional menunjukkan bahwa tantangan tersebut dapat diatasi melalui desain kebijakan yang cermat dan pelaksanaan yang terencana.
Keberhasilan penerapan exit tax akan bergantung pada kemampuan Indonesia untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan: perlindungan basis pajak, kemudahan berbisnis, dan kewajiban internasional.
Dengan pendekatan yang tepat, exit tax dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mencegah penggerusan basis pajak tanpa menghambat aktivitas ekonomi yang legitim.