
Ilustrasi. [Source: Canva]
Pragmaintegra.com – Evolusi sistem tata kelola perusahaan merupakan refleksi dari transformasi historis, yang dipengaruhi oleh perubahan hukum, ekonomi, sosial, dan teknologi. Untuk memahami keadaan saat ini dan lintasan masa depan tata kelola perusahaan, penting untuk menelusuri akar sejarahnya, mengkaji berbagai periode yang telah membentuk prinsip dan praktik yang membimbing perusahaan saat ini.
Perkembangan Historis
Asal konseptual tata kelola perusahaan dapat ditelusuri kembali ke bentuk-bentuk awal organisasi bisnis, di mana tata kelola terkait erat dengan kepemilikan. Konsep tata kelola perusahaan telah berkembang secara signifikan selama berabad-abad, terutama karena berbagai perkembangan ekonomi dan hukum. Tonggak seperti pendirian perusahaan saham gabungan (joint-stock companies) pada abad ke-17, kemunculan perusahaan pertanggungjawaban terbatas (limited liability company) pada abad ke-19, dan, lebih baru lagi, adopsi kode tata kelola sebagai respons terhadap skandal perusahaan telah menandai titik balik penting dalam evolusi ini[1].
Perkembangan ini menunjukkan adaptasi berkelanjutan terhadap perubahan lanskap ekonomi, mencerminkan kebutuhan akan struktur yang menyelaraskan kepentingan pemegang saham dengan manajemen dan pemangku kepentingan lainnya.
Kerangka hukum telah memainkan peran fundamental dalam membentuk praktik tata kelola. Secara historis, undang-undang seperti Undang-Undang Perusahaan Saham Gabungan 1844 (Joint Stock Companies Act of 1844) di Inggris menandai kemajuan signifikan dengan mengkodifikasi struktur tata kelola dan hak pemegang saham. Selain itu, perubahan regulasi setelah krisis—seperti Undang-Undang Sarbanes-Oxley setelah skandal Enron—memperkuat kebutuhan akan akuntabilitas dan transparansi dalam tata kelola perusahaan.[2]
Pendorong hukum ini mencontohkan bahwa sistem tata kelola tidak stabil tetapi tunduk pada reformasi berkelanjutan yang dipengaruhi oleh kebutuhan ekonomi dan sosial yang lebih luas.
Sistem Tata Kelola Pra-modern
Sebelum kerangka tata kelola perusahaan modern terbentuk, berbagai struktur tata kelola telah ada dalam perusahaan perdagangan awal dan serikat pekerja. Model-model awal ini sering mencerminkan kombinasi kepentingan komunal dan kepemilikan keluarga, di mana mekanisme kontrol sangat bergantung pada hubungan pribadi dan kepercayaan di antara pemangku kepentingan. Misalnya, dalam sistem serikat pekerja Eropa abad pertengahan, anggota berkolaborasi erat dan menetapkan aturan internal yang membimbing operasi mereka, menunjukkan bentuk primitif tata kelola mandiri (self-governance) yang memprioritaskan kepentingan kolektif di atas maksimalisasi keuntungan individu.[3]
Landasan hukum sistem tata kelola pra-modern ini sering kali didasarkan pada hukum adat dan perjanjian tidak tertulis daripada undang-undang formal. Tata kelola informal ini mencerminkan cakupan terbatas dari perdagangan awal, di mana akuntabilitas pribadi dan reputasi sangat penting.[4]
Transisi ke sistem tata kelola modern memerlukan pergeseran dari sistem kepercayaan dan hubungan pribadi ini ke struktur yang lebih formal yang mencakup perjanjian tertulis dan pengawasan pihak ketiga.
Tata Kelola Era Industri
Revolusi Industri secara fundamental mengubah struktur dan praktik tata kelola perusahaan. Era ini membawa pertumbuhan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan kelahiran perusahaan skala besar, yang mengharuskan penciptaan kerangka hukum yang dapat mengakomodasi kompleksitas operasi perusahaan dan hubungan pemegang saham. Dengan munculnya perusahaan pertanggungjawaban terbatas (limited liability company) pada periode ini, risiko bagi investor berkurang secara signifikan, mendorong partisipasi modal dari basis publik yang lebih luas.[5]
Pemisahan kepemilikan dan kendali ini menjadi ciri khas era industri, mengarah pada masalah keagenan (agency problem) yang berbeda di mana manajemen, yang sering tidak selaras dengan kepentingan pemegang saham, dapat bertindak secara independen.[6]
Undang-undang selama masa ini, seperti undang-undang perusahaan yang bertujuan melindungi kepentingan pemegang saham, menekankan kebutuhan akan kewajiban fidusia (fiduciary duties) dan transparansi dalam perusahaan. Selain itu, pengembangan bursa saham memfasilitasi perdagangan saham, lebih jauh menjauhkan kepemilikan dari kontrol operasional dan memerlukan mekanisme tata kelola yang lebih canggih untuk mengelola dinamika ini secara efektif.[7]
Tata Kelola Pasca-industri
Pada paruh kedua abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, sistem tata kelola berkembang untuk memenuhi tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi dan transisi ke ekonomi jasa. Peningkatan perdagangan lintas batas dan investasi asing mengharuskan praktik tata kelola yang dapat beradaptasi dengan lingkungan regulasi yang beragam. Kerangka tata kelola perusahaan mulai menggabungkan standar global, sehingga mendorong konsistensi di seluruh yurisdiksi.
Munculnya investor institusi pada periode ini juga secara signifikan mempengaruhi praktik tata kelola. Kepemilikan institusional menyebabkan dorongan untuk peningkatan akuntabilitas dan pengawasan kinerja manajemen karena kepemilikan saham yang lebih besar dalam perusahaan.[8]
Entitas seperti itu telah mengadvokasi perspektif jangka panjang tentang investasi, lebih jauh membentuk tata kelola perusahaan untuk menekankan keberlanjutan dan keterlibatan pemangku kepentingan.
Tata Kelola Era Informasi
Munculnya era informasi telah menyebabkan adaptasi mendalam dalam praktik tata kelola. Teknologi telah membuat informasi lebih mudah diakses, secara drastis mengubah bagaimana pemegang saham terlibat dengan perusahaan. Peningkatan transparansi, didorong oleh platform komunikasi digital, membuat perusahaan bertanggung jawab atas tindakan mereka secara real-time.[9]
Selain itu, era ini telah memperkenalkan tantangan tata kelola baru, termasuk asimetri informasi (information asymmetry) dan masalah keamanan data yang memerlukan respons regulasi yang komprehensif.[10]
Evolusi cepat teknologi informasi juga telah menyebabkan munculnya pengambilan keputusan berbasis data dalam tata kelola perusahaan. Perusahaan memanfaatkan analitik data besar (big data analytics) tidak hanya untuk efisiensi operasional tetapi juga untuk pembuatan kebijakan dan peramalan strategis.[11]
Kemajuan ini menghadirkan peluang untuk meningkatkan tata kelola melalui keputusan yang terinformasi dan tantangan dalam memastikan penggunaan etis data tersebut terhadap potensi bias atau penyalahgunaan.
Transformasi Era Digital
Saat kita bertransisi lebih jauh ke era digital, integrasi teknologi seperti blockchain dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) merevolusi praktik tata kelola. Teknologi blockchain, khususnya, menawarkan transparansi, akuntabilitas, dan kemampuan lacak, yang berpotensi mendefinisikan ulang struktur kepemilikan dan bagaimana transaksi dilakukan.[12]
Misalnya, kontrak pintar (smart contracts) yang dijalankan pada blockchain dapat mengotomatiskan kepatuhan dan menegakkan standar tata kelola perusahaan tanpa mengandalkan perantara.
Ketergantungan pada platform digital juga memfasilitasi praktik tata kelola jarak jauh, memungkinkan dewan untuk melakukan pertemuan secara virtual dan membuat keputusan dengan cara yang lebih inklusif.[13]
Transformasi digital ini telah menyebabkan perdebatan berkelanjutan mengenai efektivitas struktur tata kelola tradisional versus model yang lebih modern dan berpusat pada teknologi, yang menekankan kelincahan dan kemampuan beradaptasi.[14]
Tren Tata Kelola Masa Depan
Melihat ke depan, pola yang muncul dalam tata kelola perusahaan kemungkinan akan menggabungkan inovasi seperti keberlanjutan (sustainability), kapitalisme pemangku kepentingan (stakeholder capitalism), dan kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG). Seiring pergeseran ekspektasi masyarakat menuju model bisnis yang lebih berkelanjutan, kerangka tata kelola sedang dibentuk ulang untuk memprioritaskan praktik bisnis etis yang selaras dengan tujuan masyarakat yang lebih luas.[15]
Prediksi juga menunjukkan bahwa kecerdasan buatan akan memainkan peran penting dalam tata kelola, dari analitik prediktif untuk manajemen risiko hingga mengotomatisasi fungsi kepatuhan.[16]
Selain itu, seiring pemangku kepentingan semakin menuntut akuntabilitas tentang masalah sosial, tata kelola perusahaan perlu mengintegrasikan ekspektasi ini ke dalam tujuan strategis mereka secara lebih efektif.
Pola Konvergensi
Lanskap global tata kelola perusahaan telah melihat tren meningkat menuju konvergensi di seluruh yurisdiksi. Fenomena ini didorong oleh kebutuhan untuk harmonisasi dalam praktik tata kelola, terutama sebagai respons terhadap operasi bisnis internasional yang memerlukan kepatuhan dengan kerangka kerja regulasi yang beragam. Namun, perdebatan di antara para sarjana terus berlanjut antara pendukung konvergensi, yang berpendapat bahwa globalisasi mengharuskan praktik standar, dan teori divergensi, yang menekankan protokol lokal yang disesuaikan dengan konteks budaya dan hukum yang unik. [17]
Hal ini terlihat dalam munculnya kode tata kelola (governance codes) (misalnya, Prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan OECD), yang sambil menyediakan dasar, memungkinkan penyesuaian berdasarkan keadaan lokal. Ketika perusahaan menavigasi tekanan ganda dari standar global versus partikularitas lokal ini, struktur tata kelola mereka akan semakin mencerminkan campuran kedua pendekatan tersebut.
Pengaruh Regulasi
Kerangka regulasi telah secara luas membentuk evolusi tata kelola perusahaan. Sepanjang sejarah, transisi dari persyaratan tata kelola sukarela ke wajib telah terjadi, didorong oleh krisis keuangan dan skandal perusahaan. Misalnya, pengenalan Undang-Undang Dodd-Frank pada tahun 2010 setelah krisis keuangan menyoroti perlunya regulasi yang ketat yang bertujuan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di sektor keuangan.[18]
Di berbagai yurisdiksi, pendekatan regulasi sangat bervariasi. Sementara beberapa negara menekankan kontrol regulasi yang ketat, negara lain lebih mengandalkan regulasi mandiri (self-regulation) di antara perusahaan untuk mengatur praktik secara internal. Perbedaan ini menggambarkan pentingnya memahami konteks lokal saat menilai kerangka tata kelola secara global.[19]
Pengaruh Pasar
Kekuatan pasar secara historis telah mempengaruhi praktik tata kelola, terutama sebagai respons terhadap ekspektasi investor yang berkembang seiring waktu. Seiring pemegang saham menjadi lebih canggih, tuntutan mereka akan akuntabilitas, transparansi, dan peningkatan kinerja telah membentuk upaya reformasi tata kelola perusahaan.[20]
Gagasan romantikal tentang keunggulan pemegang saham (shareholder primacy) telah menghadapi kritik, mengarah pada pertimbangan yang lebih luas tentang dampak pemangku kepentingan dan tujuan perusahaan.
Reaksi pasar terhadap kegagalan tata kelola menggarisbawahi pentingnya kerangka tata kelola yang kuat. Skandal yang melibatkan perusahaan seperti Enron dan Volkswagen menunjukkan bagaimana kelalaian tata kelola dapat berdampak buruk pada kepercayaan investor dan stabilitas pasar, mendorong seruan luas untuk reformasi dalam praktik tata kelola secara global.[21]
Pengaruh Sosial
Perubahan ekspektasi sosial telah berperan penting dalam mengubah paradigma tata kelola perusahaan. Gerakan sosial yang mengadvokasi tanggung jawab perusahaan telah menyebabkan bisnis untuk mempertimbangkan kembali peran dan dampak mereka pada masyarakat. Model tata kelola pemangku kepentingan (stakeholder governance) telah mulai muncul sebagai alternatif terhadap pandangan tradisional yang berpusat pada pemegang saham, menekankan signifikansi perilaku perusahaan terhadap karyawan, komunitas, dan lingkungan.
Naiknya keberlanjutan sebagai titik fokus bagi bisnis telah memicu akuntabilitas perusahaan yang lebih besar terkait dampak lingkungan mereka. Tren ini menunjukkan pergeseran dalam persepsi tata kelola perusahaan, di mana pertimbangan etis semakin dilihat sebagai komponen integral dari strategi perusahaan.[22]
Pendorong Teknologi
Gelombang perkembangan teknologi saat ini telah memperkenalkan pendorong signifikan yang membentuk ulang praktik tata kelola. Alat digital meningkatkan efektivitas dewan dengan memfasilitasi proses komunikasi dan pengambilan keputusan yang memanfaatkan data dan analitik real-time. Selain itu, teknologi seperti kecerdasan buatan menyediakan strategi bagi perusahaan untuk menavigasi kompleksitas tata kelola, termasuk mengotomatisasi tugas tata kelola rutin dan memantau kepatuhan.[23]
Selain itu, proliferasi platform keterlibatan pemangku kepentingan memungkinkan transparansi yang lebih besar dan partisipasi pemegang saham yang aktif dalam keputusan tata kelola, menandakan pergerakan menuju praktik tata kelola yang lebih inklusif yang berakar pada teknologi.[24]
Baca juga: Teori Ketergantungan Sumber Daya (Resource Dependence Theory) dalam Tata Kelola Perusahaan Modern
Kesimpulan
Evolusi sistem tata kelola perusahaan mencerminkan interaksi rumit dari pengaruh historis, hukum, ekonomi, sosial, dan teknologi. Dari struktur tata kelola awal yang berakar pada hubungan pribadi hingga kerangka kompleks yang diperlukan untuk beroperasi dalam ekonomi yang semakin digital dan terglobalisasi, tata kelola perusahaan terus beradaptasi dan berubah.
Ketika kerangka hukum, dinamika pasar, ekspektasi sosial, dan teknologi mendorong praktik tata kelola baru, pemahaman komprehensif tentang sistem yang terus berkembang ini menjadi penting bagi praktisi hukum yang menavigasi lanskap hukum perusahaan. [*]
*Artikel ini merupakan bagian dari ‘ Learning Module for Lawyers: Corporate Law ‘ yang disusun oleh Tim Penulis Firma Pragma Integra.
Referensi
[1] Mahmoud Arayssi, Mohammad Jizi, and Hala H Tabaja, ‘The Impact of Board Composition on the Level of ESG Disclosures in GCC Countries’, Sustainability Accounting Management and Policy Journal, 11.1 (2020), pp. 137–61, doi:10.1108/sampj-05-2018-0136.
[2] Constantino J G Martín and Begoña Herrero, ‘Boards of Directors: Composition and Effects on the Performance of the Firm’, Economic Research-Ekonomska Istraživanja, 31.1 (2018), pp. 1015–41, doi:10.1080/1331677x.2018.1436454.
[3] Arayssi, Jizi, and Tabaja, ‘The Impact of Board Composition on the Level of ESG Disclosures in GCC Countries’.
[4] Mai Dao, Trung Pham, and Hongkang Xu, ‘Internal Governance and Internal Control Material Weaknesses’, Corporate Governance an International Review, 32.3 (2023), pp. 474–99, doi:10.1111/corg.12548.
[5] Martín and Herrero, ‘Boards of Directors: Composition and Effects on the Performance of the Firm’.
[6] Dao, Pham, and Xu, ‘Internal Governance and Internal Control Material Weaknesses’.
[7] Nikita Lee, Zaidan A Heryana, and Nora S Hendriyeni, ‘Do Women on Board, Institutional Ownership, and Governance Committee Relate to Environmental, Social, Governance (ESG) Disclosure?’, 2023, pp. 150–65, doi:10.2991/978-94-6463-076-3_11.
[8] Lee, Heryana, and Hendriyeni, ‘Do Women on Board, Institutional Ownership, and Governance Committee Relate to Environmental, Social, Governance (ESG) Disclosure?’
[9] Jérôme Duberry, ‘Global Environmental Governance in the Information Age’, 2019, doi:10.4324/9781315109596.
[10] Gavin Shatkin, ‘Mega-Urban Politics: Analyzing the Infrastructure Turn Through the National State Lens’, Environment and Planning a Economy and Space, 54.5 (2022), pp. 845–66, doi:10.1177/0308518×221087713.
[11] Ayona Datta, ‘The Digitalising State: Governing Digitalisation-as-Urbanisation in the Global South’, Progress in Human Geography, 47.1 (2022), pp. 141–59, doi:10.1177/03091325221141798.
[12] Leanne Weber and Alison Gerard, ‘Robodeport or Surveillance Fantasy?: How Automated Is Automatic Visa Cancellation in Australia?’, Frontiers in Sociology, 9 (2024), doi:10.3389/fsoc.2024.1336160.
[13] Nkechi Obisie-Nmehielle, Ishmael Kalule‐Sabiti, and Martin E Palamuleni, ‘Knowledge of Family Planning and Access to Sexual and Reproductive Health Services by Immigrant Youth in Hillbrow, South Africa: A Cross-Sectional Study.’, 2022, doi:10.21203/rs.3.rs-1200459/v1.
[14] Sarianna M Lundan and John Cantwell, ‘The Local Co-Evolution of Firms and Governments in the Information Age’, Journal of International Business Studies, 51.9 (2020), pp. 1516–28, doi:10.1057/s41267-020-00373-3.
[15] Lee, Heryana, and Hendriyeni, ‘Do Women on Board, Institutional Ownership, and Governance Committee Relate to Environmental, Social, Governance (ESG) Disclosure?’
[16] Weber and Gerard, ‘Robodeport or Surveillance Fantasy?: How Automated Is Automatic Visa Cancellation in Australia?’
[17] Shatkin, ‘Mega-Urban Politics: Analyzing the Infrastructure Turn Through the National State Lens’.
[18] Martín and Herrero, ‘Boards of Directors: Composition and Effects on the Performance of the Firm’.
[19] Vania A Calista and Rahmat Febrianto, ‘Impact of Governance Structure, Blockholder, Company Age, and Technology Cost on the Implementation of Internet Financial Reporting’, International Journal of Economics and Business Issues, 2.1 (2023), pp. 20–31, doi:10.59092/ijebi.vol2.iss1.23.
[20] Calista and Febrianto, ‘Impact of Governance Structure, Blockholder, Company Age, and Technology Cost on the Implementation of Internet Financial Reporting’.
[21] Martín and Herrero, ‘Boards of Directors: Composition and Effects on the Performance of the Firm’.
[22] Lee, Heryana, and Hendriyeni, ‘Do Women on Board, Institutional Ownership, and Governance Committee Relate to Environmental, Social, Governance (ESG) Disclosure?’
[23] Weber and Gerard, ‘Robodeport or Surveillance Fantasy?: How Automated Is Automatic Visa Cancellation in Australia?’
[24] Dao, Pham, and Xu, ‘Internal Governance and Internal Control Material Weaknesses’.