Perbedaan pengacara dengan advokat masih menjadi pertanyaan yang sering muncul di kalangan masyarakat Indonesia. Meskipun kedua istilah ini kerap digunakan secara bergantian, sejarah mencatat adanya distinsi khusus antara pengacara dan advokat sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).
Sebelum UU Advokat diberlakukan, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara pengacara dan advokat yang perlu dipahami. Pengacara pada masa itu memiliki batasan wilayah kerja yang ditentukan oleh izin praktik dari pengadilan setempat. Hal ini berarti seorang pengacara hanya dapat memberikan bantuan hukum di wilayah yurisdiksi pengadilan yang mengeluarkan izin praktiknya.
Di sisi lain, advokat memiliki kewenangan yang jauh lebih luas dalam menjalankan praktik hukumnya. Mereka dapat memberikan bantuan hukum di seluruh wilayah Indonesia tanpa terikat batasan geografis tertentu. Selain itu, advokat juga memiliki kewenangan penuh untuk mewakili klien di semua jenis pengadilan, mulai dari pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung.
Sejak diberlakukannya UU Advokat, perbedaan antara pengacara dan advokat telah dihapuskan secara legal. Pasal 1 ayat (1) UU Advokat menyatakan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Definisi ini mencakup semua sebutan untuk profesi hukum, termasuk pengacara praktik, penasihat hukum, dan konsultan hukum.
Dalam praktik sehari-hari, masyarakat masih sering menggunakan istilah “pengacara” dan “advokat” secara bergantian. Namun, kalangan profesional hukum cenderung lebih memilih menggunakan istilah “advokat” karena dianggap lebih formal dan mencerminkan status profesi yang diakui oleh undang-undang.
Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa saat ini, baik pengacara maupun advokat harus memenuhi persyaratan yang sama untuk dapat berpraktik. Mereka wajib lulus ujian profesi advokat, mengikuti pendidikan khusus profesi advokat, dan terdaftar di organisasi advokat yang diakui oleh undang-undang.
Ketika membutuhkan bantuan hukum, masyarakat disarankan untuk memverifikasi status profesional hukum yang akan mereka gunakan. Hal ini dapat dilakukan dengan memeriksa keanggotaan mereka di organisasi advokat resmi seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) atau organisasi advokat lain yang diakui oleh undang-undang.
Dengan penyatuan istilah ini, fokus utama sekarang adalah pada kualitas layanan hukum yang diberikan, bukan pada perbedaan istilah yang digunakan. Setiap praktisi hukum, baik yang menyebut dirinya pengacara maupun advokat, memiliki kewajiban yang sama untuk memberikan layanan hukum profesional sesuai dengan kode etik dan peraturan yang berlaku.