Bayangkan Anda membeli sebuah t-shirt dengan harga terjangkau dari merek terkenal. Yang mungkin tidak Anda sadari adalah proses panjang di balik pembuatan pakaian tersebut – mulai dari penanaman kapas, pemintalan benang, pencelupan kain, hingga penjahitan – yang melibatkan pekerja di berbagai negara dengan kondisi kerja yang beragam.
Bagaimana memastikan bahwa t-shirt tersebut diproduksi tanpa melanggar hak asasi manusia atau merusak lingkungan?
Pertanyaan inilah yang coba dijawab melalui Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD) – aturan baru Uni Eropa yang mewajibkan perusahaan besar untuk memantau dan bertanggung jawab atas praktik bisnis di sepanjang rantai pasok mereka. Disetujui pada April 2024 lalu, regulasi ini tidak hanya akan berdampak pada perusahaan Eropa, tetapi juga mitra bisnis mereka di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Stefan Koos dalam artikelnya di Hasanuddin Law Review berjudul Civil Law, Conflict of Laws, and Extraterritoriality in the European Supply Chain Due Diligence Law, menjelaskan bahwa CSDDD merupakan bagian dari upaya menciptakan standar yang lebih ketat dalam pengelolaan rantai pasok global.
Regulasi ini memperkenalkan kewajiban uji tuntas (due diligence) yang komprehensif serta ketentuan pertanggungjawaban perdata yang spesifik bagi perusahaan.
Siapa Saja yang Terkena Kewajiban?
CSDDD akan diterapkan secara bertahap mulai tahun 2027, dengan fokus awal pada perusahaan besar. Menurut Stefan Koos, pada tahap pertama regulasi ini akan menyasar perusahaan dengan minimal 5.000 karyawan dan omzet tahunan minimal 1,5 miliar euro.
Tahun berikutnya, cakupan diperluas ke perusahaan dengan 3.000 karyawan dan omzet 900 juta euro, dan pada 2029 mencakup perusahaan dengan lebih dari 1.000 karyawan dan omzet 450 juta euro.
Yang menarik, kewajiban ini tidak hanya berlaku bagi perusahaan yang berkantor pusat di Uni Eropa. Perusahaan non-Eropa yang memiliki aktivitas bisnis signifikan di pasar Uni Eropa juga harus mematuhi aturan ini.
Ini berarti perusahaan Indonesia yang menjadi pemasok atau mitra bisnis perusahaan Eropa perlu mempersiapkan diri.
“Perusahaan kecil dan menengah mungkin tidak secara langsung terkena kewajiban berdasarkan undang-undang. Namun, mereka dapat terkena dampak tidak langsung karena mereka tunduk pada kewajiban pelaporan kepada pelanggan mereka atau karena CSDDD secara langsung diterapkan pada pemasok mereka,” jelas Koos dalam artikelnya.
Sebagai contoh praktis, sebuah pabrik tekstil menengah di Indonesia yang memasok ke merek fashion Eropa mungkin akan diminta memenuhi standar tertentu terkait kondisi kerja, keselamatan, dan dampak lingkungan sebagai bagian dari persyaratan kontrak dengan pembeli Eropa mereka.
Apa Saja yang Harus Dilakukan Perusahaan?
CSDDD mengadopsi pendekatan enam langkah dalam penerapan tanggung jawab perusahaan. Pertama, perusahaan harus mengintegrasikan kewajiban uji tuntas ke dalam kebijakan dan sistem manajemen mereka.
Ini bisa termasuk membuat kebijakan tertulis tentang hak asasi manusia dan lingkungan, serta menunjuk personel yang bertanggung jawab untuk pemantauan.
Kedua, perusahaan wajib mengidentifikasi dan menilai risiko yang berdampak pada hak asasi manusia dan lingkungan.
Misalnya, sebuah perusahaan elektronik harus memeriksa apakah mineral yang digunakan dalam produknya ditambang dengan cara yang bertanggung jawab, tanpa eksploitasi pekerja atau kerusakan lingkungan serius.
Langkah ketiga adalah mengambil tindakan untuk mencegah atau meminimalkan dampak negatif. “Perusahaan tidak hanya harus mengambil tindakan individual tetapi juga mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan sistemik dalam sistem manajemen dan proses internal mereka,” papar Koos.
Keempat, perusahaan harus mengevaluasi efektivitas tindakan yang diambil. Kelima, mereka harus mengkomunikasikan secara transparan tentang proses uji tuntas mereka. Dan keenam, menyediakan sistem pengaduan yang efektif bagi pihak yang terdampak.
Konsekuensi dan Sanksi bagi Perusahaan yang Melanggar
Berbeda dengan regulasi serupa sebelumnya, CSDDD memiliki “gigi” yang lebih tajam dalam hal penegakan hukum. Pengawasan akan dilakukan oleh otoritas pengawas independen yang dibentuk oleh negara-negara anggota Uni Eropa. Otoritas ini memiliki wewenang untuk meminta informasi, melakukan investigasi, dan bahkan melakukan inspeksi mendadak ke lokasi perusahaan.
Sanksi yang dapat dijatuhkan cukup berat. Menurut Stefan Koos, pelanggaran terhadap kewajiban uji tuntas dapat dikenakan denda hingga 5% dari omzet global tahunan perusahaan.
Bahkan, negara anggota dapat menetapkan denda maksimum yang lebih tinggi. Sebagai ilustrasi, jika sebuah perusahaan dengan omzet global 1 miliar euro melanggar ketentuan CSDDD, mereka bisa dikenakan denda hingga 50 juta euro.
Selain denda, ada juga sanksi berupa “name and shame” atau pengumuman publik tentang pelanggaran yang dilakukan perusahaan. “Ini menjelaskan sifat pelanggaran dan tanggung jawab spesifik perusahaan jika perusahaan tidak mematuhi keputusan yang sebelumnya menjatuhkan denda dalam periode tertentu,” jelas Koos dalam artikelnya.
Perusahaan yang melanggar juga dapat dikeluarkan dari proses pengadaan publik di Uni Eropa. Artinya, mereka kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam tender-tender pemerintah yang nilainya bisa sangat besar.
Tantangan dan Peluang bagi Pelaku Usaha
Penerapan CSDDD tentu membawa tantangan tersendiri bagi pelaku usaha. Biaya kepatuhan untuk membangun sistem pemantauan rantai pasok dan melakukan uji tuntas bisa sangat besar. Menurut Koos, terutama perusahaan kecil dan menengah mungkin kesulitan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk menerapkan langkah-langkah yang disyaratkan.
Namun, di balik tantangan tersebut ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan. Perusahaan yang berhasil memenuhi standar CSDDD dapat memperoleh keunggulan kompetitif. “Perusahaan yang mematuhi standar tinggi dan mengkomunikasikannya secara transparan dapat memperoleh kepercayaan dan loyalitas konsumen,” tulis Koos.
Implementasi yang baik juga dapat menghasilkan penghematan biaya jangka panjang dengan mengidentifikasi dan mengurangi risiko sebelum berkembang menjadi masalah besar. Selain itu, standardisasi hukum kewajiban uji tuntas dapat mengurangi kerugian kompetitif akibat birokrasi dengan menciptakan pedoman yang jelas dan mengikat secara umum.
Rekomendasi Praktis bagi Pelaku Usaha
Menghadapi penerapan CSDDD, berikut beberapa langkah konkret yang bisa mulai dipersiapkan pelaku usaha:
- Pemetaan Rantai Pasok Lakukan identifikasi menyeluruh terhadap seluruh mitra bisnis dalam rantai pasok, dari pemasok langsung hingga tidak langsung. Dokumentasikan informasi penting seperti lokasi operasi, jumlah pekerja, dan risiko potensial terkait hak asasi manusia atau lingkungan di setiap tahapan.
- Pengembangan Sistem Manajemen Risiko Bangun sistem manajemen risiko yang robust untuk mengidentifikasi, menilai, dan menangani potensi pelanggaran dalam rantai pasok. Ini bisa dimulai dengan membuat prosedur standar dan menunjuk tim khusus yang bertanggung jawab atas pemantauan kepatuhan.
- Peningkatan Transparansi Mulai dokumentasikan dan komunikasikan upaya-upaya yang dilakukan untuk memastikan rantai pasok yang bertanggung jawab. “Pengungkapan kepatuhan rantai pasok merupakan bagian dari komunikasi konsumen dan memperkuat perlindungan konsumen sebagai tujuan legislatif,” tegas Koos dalam artikelnya.
- Penyesuaian Kontrak Tinjau dan perbarui kontrak dengan mitra bisnis untuk memasukkan klausul tentang kepatuhan terhadap standar hak asasi manusia dan lingkungan. Sertakan juga ketentuan yang memungkinkan pemutusan atau penangguhan hubungan bisnis jika ditemukan pelanggaran serius.
- Investasi Teknologi Pertimbangkan penggunaan teknologi seperti blockchain atau sistem pelacakan digital untuk memudahkan pemantauan dan verifikasi kondisi di sepanjang rantai pasok.
Kesimpulan
CSDDD menandai era baru dalam pengelolaan rantai pasok global, di mana tanggung jawab perusahaan tidak lagi terbatas pada operasi langsung mereka tetapi mencakup seluruh rantai nilai. Meski membawa tantangan implementasi, regulasi ini berpotensi mendorong praktik bisnis yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Bagi pelaku usaha Indonesia, terutama yang terhubung dengan pasar Eropa, CSDDD bisa dilihat sebagai peluang untuk meningkatkan standar operasi dan membangun keunggulan kompetitif. “Perusahaan yang beradaptasi lebih awal dan mengorganisir rantai pasok mereka secara transparan juga bisa mendapat manfaat dari perkembangan regulasi di negara lain dengan memenuhi persyaratan untuk kepatuhan di masa depan,” simpul Koos.
Yang terpenting, penerapan regulasi ini diharapkan tidak hanya menghasilkan kepatuhan formal, tetapi benar-benar berkontribusi pada perbaikan kondisi sosial dan lingkungan di sepanjang rantai pasok global. Dengan persiapan yang matang dan komitmen yang kuat, pelaku usaha dapat mengubah tantangan kepatuhan menjadi kesempatan untuk membangun bisnis yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab.